Kejati Lampung Didesak Menetapkan Tersangka Pada Arinal

ilustrasi. foto ist

Bandarlampung-  Dugaan adanya kolusi dalam penetapan
honorarium Tim Raperda dan Rapergub, serta Tim Evaluasi Rancangan APBD
Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung, yang melibatkan mantan Sekda Provinsi
Lampung, Arinal Djunaidi, mendapat sorotan dari kalangan akademisi. Salah
satunya, Budiono, pengamat hukum dari Universitas Lampung (Unila).

Karena,
dugaan kolusi yang melibatkan Arinal Djunaidi, yang kini yang kini menjabat
Ketua Partai Golkar Lampung dianggap memperburuk citra pejabat pemerintah
Lampung, yang wajib menciptakan clear goverment, atau pemerintahan yang bersih.
“Ada
upaya korupsi kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pejabat Lampung
itu, dikemas rapi dan dilegalkan oleh aturan hukum berupa Peraturan Gubernur
(Pergub), yang diubah untuk dapat meraup keuntungan pribadi dan kelompok dari
uang rakyat,” kata Budiono kepada wartawan.
Budiono
mengaku miris, melihat isi Pergub No. 24 tahun 2015, yang sebelumnya Pergub No.
72 tahun 2014, yang kemudian sengaja diubah demi meraup pundi pundi kekayaan
pribadi. Besaran honorarium para pejabat Pembahas Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda), Rancangan Peraturan Gubernur (Rapergub), serta Evaluasi Rancangan
APBD Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung, dengan angka yang cukup besar tanpa
dasar yang jelas.
Budiono
mengatakan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung harus mengusut tuntas masalah
pembayaran honorarium Tim Raperda dan Rapergub, dan honorarium Tim Evaluasi
Rancangan APBD Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung tersebut. Sebab, dalam
masalah honorarium itu, diduga kuat ada unsur melanggar hukum.
Menurut
Budiono, kenaikan honorium Tim Raperda dan Rapergub, dan honorarium Tim
Evaluasi Rancangan APBD Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung yang sangat
signifikan itu, menyalahi aturan. “Ini ada unsur perbuatan melanggar
hukum, ya bisa dilihat apakah melanggar administrasi kelebihan pembayaran atau
ada tindak pidana lain di dalamnya,” kata Budiono, kepada wartawan, via
ponsel, Minggu (
04/06/2017).
Budiono
menjelaskan, jika perbuatan ini, sampai menimbulkan kerugian negara, lantaran
adanya kesewenang-wenangan pembayaran honorarium, maka pihak Kejati Lampung
harus segera mengumumkan sejauhmana proses hukum yang dilakukan Kejati.
“Jangan
sampai karena Kejati yang berlarut-larut memprosesnya, malah bisa merugikan
orang yang ternyata tidak ikut di dalam kasus penyimpanan ini, seperti Pak
Arinal ini mau maju Pilgub mendatang, kalau bisa secepatnya di clear kan,”
ujarnya.
Arinal
Djunaidi sendiri, saat dihubungi tampak enggan menanggapi persoalan ini. Pesan
singkat yang dikirim wartawan, dan telepon tak pernah dijawab. 
Sebelumnya
dikabarnya, ada dugaan terjadi “perampokan” secara massif atas uang rakyat,
berkedok honorarium Tim Raperda dan Rapergub, dan honorarium Tim Evaluasi
Rancangan APBD Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung, dilegalkan melalui Peraturan
Gubernur No. 24 Tahun 2015.
Kenaikan
honor Tim jumlahnya sangat fantastis, 
dari Rp350 ribu per bulan menjadi Rp6 juta per bulan untuk Pembina, yang
notabene dijabat oleh Sekdaprov Lampung kala itu, Arinal Djunaidi.
Dalam
Pergub No. 24 Tahun 2015, honorarium Tim Raperda dan Rapergub, selaku Pembina
Rp6 juta per bulan, Pengarah Rp5 juta per bulan, Ketua Rp4,5 juta per bulan,
Wakil Ketua Rp4 juta per bulan, Sekretaris Rp3,5 juta per bulan, dan Anggota
Rp3 juta per bulan.
Kenaikan
ini sangat drastis nilainya dibandingkan Honor Tim yang dianggarkan melalui
Pergub sebelumnya, Pergub No. 72 tahun 2014, yang besarannya sesuai urutan
masing-masing jabatan, paling tinggi sebesar Rp350 ribu per bulan dan paling
rendah Rp175.000 per bulan.
Sementara,
untuk honor Tim Evaluasi Raperda APBD Kabupaten/Kota se-Provinsi Lampung, yang
tertuang dalam Pergub No. 24 Tahun 2015, pejabat Eselon I mendapat Rp7 juta per
bulan dan terendah Rp1 juta per bulan untuk pejabat Golongan I.
Sementara,
honor Tim Anggaran Pemerintah Daerah, paling tinggi Rp9 juta per bulan untuk
pejabat Eselon I, dan paling rendah Rp825.000 per bulan untuk Golongan I.
Kejati
“Dingin” Pada Kasus Kejahatan Anggaran
Menanggapi
masalah tersebut, aktivis Jaringan Anti Korupsi (JAK), Didi Junaidi mengatakan,
adanya selisih honor Tim Raperda dan Rapergub yang diluar batas kewajaran, dari
Rp350.000 menjadi Rp6 juta per bulan, adalah kejahatan anggaran yang
tersitematisasi dan terstruktur, yang dilakukan para pejabat di lingkup
Pemerintahan Provinsi Lampung.
“Hal
ini tidak bisa dibiarkan terjadi, pemerintah daerah tidak transparan dalam
mengelola anggaran-anggaran daerah, untuk honor pejabat PNS saja bisa
berjuta-juta, padahal mereka kan sudah digaji dan mendapat tunjangan ini itu.
Ini honor yang tidak wajar,” katanya kepada wartawan.
Menurutnya,
pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung yang telah melakukan penyidikan dalam
persoalan ini, juga terkesan tidak transparan dan terbuka. Bahkan, beredar
informasi, bahwa persoalan ini sudah “dingin” di Kejati Lampung.
Menurut
Didi, pihak Kejaksaan sempat melakukan analisa atas honor tim para pejabat
Lampung ini, yang ditaksir sekitar Rp480 juta. “Tapi menurut saya bisa lebih,”
tukasnya.
Oleh
karena itu, ia mendesak Kejati Lampung untuk segera menetapkan tersangka atas
penetapan honor Tim Anggaran dan Raperda/Rapergub Pemprov Lampung, melalui
Pergub no. 72 Tahun 2015, yang dinilainya diluar batas kewajaran.  “Ini jelas gak ada dasar, masa kenaikan honor
bisa lebih dari 100 persen. Ini honor lho, bukan gaji pokok,” kata Didi.
Didi
menilai, dalam penetapan honor Tim Anggaran Daerah dan Raperda/Rapergub APBD
se-Provinsi Lampung ini, ada penyalahgunaan wewenang, dimana dengan jabatannya
itu, dapat menetapkan besaran honor yang diluar batas kewajaran.
“Aparat
penegak hukum harus berani mengungkap persoalan ini, apa dasarnya besaran honor
itu, dan asalnya dari mana uang honor tersebut, dari setoran proyek kah, dari
pajak-pajak rakyat kah, atau ada donatur agar kegiatan atau proyek bisa lolos
APBD, alias segera ketok palu,” katanya.
Diketahui, Arinal Djunaidi, terancam kena
jeratan hukum, lantaran ada dugaan penyalahgunaan wewenang saat dirinya
menjabat Sekdaprov Lampung.  Arinal
selaku Sekdaprov, mengalokasikan honor Tim Pembentukan Peraturan Daerah dan Tim
Evaluasi APBD, yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.
Pasalnya,
terjadi selisih besaran honor yang diterima oleh para anggota Tim Anggaran dan
Tim Raperda dan Rapergub APBD se-Provinsi Lampung, yang kenaikannya diluar
batas kewajaran. Pada tahun 2015, Gubernur Lampung menetapkan pedoman
penyelenggara Perda dalam melaksanakan anggaran yang dituangkan dalam Pergub No
72 tahun 2014 tanggal 29 Desember 2014. Dalam Pergub tersebut, diatur besaran
honorarium tim.
Namun,
pada tanggal 14 April 2015, Pergub tersebut dirubah dengan Pergub No 24 tahun
2015, yang isinya lebih pada memfasilitasi besaran honor tim Raperda, Rapergub
dan Tim Evaluasi Raperda APBD kab/kota.
Keputusan
Gubernur No G/59/B.III/HK/2015 tentang penetapan besaran honor dan Keputusan
Gubernur No G/292/BX/HK/2015 tentang pembentukan tim, diduga keduanya
bertentangan dengan pasal 1 lampiran IV dan pasal 5 Pergub No 72 tahun 2014.
Pada
tahun 2015, selain menjabat Sekdaprov, Arinal Djunaidi juga ditunjuk sebagai
Tenaga Ahli. Adanya pelanggaran dalam pembuatan, penerbitan dan pelaksanaan
Peraturan Gubernur (Pergub) itulah yang menjadi dasar ditemukannya kerugian
keuangan daerah.
Sejumlah
lembaga anti korupsi pun mendesak pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung untuk
dapat menuntaskan persoalan penyimpangan anggaran pada APBD, termasuk bila
melibatkan para calon-calon gubernur yang akan bertarung pada Pilgub 2018
mendatang.
Kejati
pun diminta bersikap transparan dan tidak tebang pilih. “Kejati harus profesional
dalam menangani kasus-kasus korupsi APBD,” tegas Agung Irawansyah, Ketua Umum
Serikat Masyarakat Lampung Anti Korupsi (SIMULASI).
Apalagi,
lanjut Agung, persoalan ini sudah masuk tahap penyidikan. “Persoalan ini tidak
boleh menguap begitu saja, apalagi ini menyangkut salah satu petinggi parpol
yang ikut nyalon gubernur. Kejati harus profesional, jangan mentang-mentang
pejabat lantas kasus ini dipetieskan diam-diam oleh Kejati,” tukasnya.
Arinal
Djunaidi saat menjabat Sekdaprov Lampung, yang notabene Pembina PNS tertinggi
di Pemprov Lampung, malah melakukan hal yang tidak etis. Selain menjabat
Sekdaprov, ia juga merangkap sebagai Tenaga Ahli.
“Ini
terjadi pelanggaran dalam peraturan yang diterbitkan oleh Pemprov Lampung,
dimana perubahan Pergub dari No. 72 Tahun 2014 menjadi No. 24 Tahun 2015,
karena Pergub yang berlaku mengatur hal-hal yang belum diatur mengikuti
Peraturan Menteri tentang harga satuan barang dan jasa, bukan menerbitkan Perubahan
Daerah,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *