Erwin Moeslimin. Foto ist |
JAKARTA – Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Erwin Moeslimin Singajuru menegaskan perlunya langkah konkrit dalam upaya memberantas korupsi politik.
Menurut politikus PDIP asal Daerah Pemilihan Sumatera Selatan 2 itu, salah satu langkah adalah membentuk Mahkamah Pemilu.
Pernyataan Erwin soal ini dikemukakannya di sela diskusi Menimbang Caleg Eks Koruptor, di Jakarta, Sabtu (2/2). Anggota DPR RI Komisi VIII ini menyatakan reformasi besar-besaran terhadap sinkronisasi dan harmonisasi sistem perundang-undangan terkait dampak pemilu harus dilakukan. Langkah itu bertujuan untuk memastikan demokrasi tetap fundamental serta menguatkan penegakkan hukum di Tanah Air.
Hadir pula sebagai pembicara politikus Partai Gerindra Miftah Nur Sabri, Wakil Kepala Sekolah Tinggi Hukum Jentera (STH Jentera) Bivitri Susanti, dan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho.
Menurut Erwin, seperti dikutip dari salah satu media, keputusan Komisi Pemilihan Umum yang berani mengumumkan 49 calon anggota DPRD dan DPD patut diapresiasi. Namun, persoalan itu diprediksi bakal terus terjadi apabila tidak ada langkah konkret untuk mencegah hadirnya mantan koruptor dalam perhelatan pesta demokrasi.
“Apalagi kita tidak punya tradisi mengundurkan diri. Ini menjadi problem tersendiri karena budaya malu itu tidak ada, tradisi mundur tidak membumi. Persoalan lain ialah tingginya biaya politik,” ujarnya.
Menurut dia, solusi terbaik ialah membentuk mahkamah pemilu, seperti di Brazil. Lembaga tersebut punya peran sangat penting, semisal membubarkan partai politik yang ketahuan bermain politik uang, termasuk mendiskualifikasi caleg yang terbukti terlibat praktik lancung.
“Sanksinya ialah membayar denda dan jika tidak dilakukan maka dibubarkan parpolnya. Begitu pula dengan caleg yang juga dikenakan denda dan kemudian didiskualifikasi. Kan, jelas hukum pidana pemilu dan hukum acaranya. Beda dengan sekarang yang hanya mengandalkan Bawaslu dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) saja,” ujar dia.
Emerson menambahkan, hadirnya caleg eks koruptor sedianya tidak perlu menjadi polemik apabila parpol bersedia memecat kader yang bermasalah. Keputusan itu pun bisa menjadi pembuktian parpol punya komitmen antikorupsi.
“Kami juga merekomendasikan perubahan regulasi, khususnya di UU Tipikor, yaitu terdakwa kasus korupsi ada tambahan pencabutan hak politik lebih dari 5 tahun atau kalau perlu seumur hidup. Ini pembelajaran buat parpol untuk tidak memilih figur yang tidak memiliki integritas,” terang dia.
Senada dikemukakan Bivitri. Menurut dia, calon pejabat publik yang selalu memikirkan ‘balik modal’ merupakan penyakit yang perlu dibersihkan. Lingkaran setan pun harus diputus untuk melindungi masyarakat selaku pemilih.
Ia mendorong agar terjadi reformasi sistem kepartaian, seperti menggelar proses rekrutmen caleg yang berintegritas dan transparan.
“Kemudian, KPU tetap percaya diri dengan mengumumkan caleg bermasalah. Selain melindungi pemilih, perlu dipikirkan juga bagaimana menyelenggarakan pemilu supaya manfaatnya kedepannya,” pungkasnya. (*)