Orang Tua EP Mahasiswa UIN Raden Intan Lampung Tuntut Keadilan

Kedua orang tua EP saat diwawancarai

LAMPURA – Kondisi cukup miris terlihat dari keluarga EP (20) mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung yang menjadi korban dugaan pelecehan seksual diduga dilakukan oknum dosen kampus setempat.

Ternyata, keluarga EP (20) adalah sebuah keluarga sederhana yang hanya mengandalkan penghasilan dari berjualan es dugan di Kotabumi. Mirisnya lagi, ayah EP kondisinya sakit, bahkan sulit untuk berjalan.

“Saya minta agar hukum ditegakkan. Jangan sampai kami yang orang biasa ini tidak mendapatkan keadilan. Anak saya itu jadi korban, makanya dia sampai berani melapor ke polisi dibantu teman-temannya. Saya minta kasus ini diusut sampai tuntas,” kata K, ayah korban, saat ditemui di kediamannya di Kotabumi, Selasa (05/02/2019).

Ia mengaku, EP adalah anak rajin dan pintar, tak terlalu berlebihan rasanya pujian dan harapan besar itu ada untuk keluarga, karena EL bisa lolos di UIN Raden Intan Lampung melalui jalur tanpa tes dari sekolah asal.

“Anaknya rajin dan pintar, mudah-mudahan tidak ada halangan dalam perkuliahannya,” cerita dia.

Sementara, A, istri dari K yang juga ibu EP  mengaku kediamannya di Kotabumi Lampung Utara pernah disambangi lima orang yang mengaku utusan UIN.

Ibu tujuh anak ini berujar, kelima orang itu di antaranya ada dosen dan dua perempuan dan tiga pria,  mereka bersilaturahmi. Kedatangan mereka diduga kuat imbas dari laporan EP ke Polda Lampung, aksi massa dan ramainya pemberitaan di berbagai media.

“Ya ada (intimidasi). Ada kalimat kalah jadi abu menang jadi arang. Saya enggak tahu siapa, tapi ngakunya dosen UIN,” kata A, saat ditemui di Kotabumi Lampung Utara, Selasa (05/02/2019).

Kendati demikian menurut dia, disinyalir dari kalimat yang terucap ‘Kalah Jadi Abu Menang Jadi Arang’ jika diasumsikan sama-sama tidak menguntungkan bagi EP.

“Yang saya cerna, kali dilanjutin (laporan ke polisi) yang korban anak saya (EP). Anak saya yang diintimidasi. Dilanjutin yang jadi korban anak saya, enggak dilanjutin tetap anak saya jadi korban,” cerita dia.

A mengaku mereka menyambangi kediamannya hanya satu kali saja.

“Sampai hari ini enggak ada tindak lanjutnya. Apa silaturahminya kek mana kek mana enggak ada lagi,” ucapnya.

Ia meminta pihak kampus bersikap profesional dan menjamin hak-hak pendidikan EP tanpa ada upaya intervensi akademik maupun hal lain yang dapat menggangu perkuliahan anaknya kelak nanti.

A menceritakan, EP sempat pulang usai kejadian, usai berkeluh-kesah dengan keluarga EP pun kembali ke Bandar Lampung untuk kembali kuliah seperti biasanya, karena takut akan terganggu bila tidak masuk dan belajar.

“Sempat pulang dan cerita usai kejadian, setelah dapat suport dari berbagai pihak, dengan menguatkan hati. Alhamdulillah ia pun kembali ke Bandar Lampung untuk kembali kuliah karena takut nilainya akan terganggu bila tidak dikejar,” ungkapnya.

Ia kembali menerangkan, sejauh ini EP masih mengalami trauma luar biasa, hal itu diketahui setiap ada komunikasi dengan keluarga, dimana sang anak EP mengaku merasa mengalami ketakutan saat melihat SH dari jauh maupun saat berpapasan di kampus.

“Anak saya mengaku takut kalau lihat bapak dosen (SH) itu bila melihat dari jauh, apalagi saat berpapasan di kampus, kami juga heran kenapa sih masih saja bebas padahal sudah dilaporkan ke polisi kok masih nyaman saja mengajar seperti tak ada sesuatu terjadi,” bebernya.

Pengakuan EP lain yang didapat melalui komunikasi kepada keluarga sejauh ini memang tidak ada hal yang berarti meskipun ia mengaku sempat mengalami kekosongan pembimbing akademik, namun itu baginya tidaklah berpengaruh besar secara pribadi, meski demikian ia berharap pihak kampus menjamin hal itu agar tak ada buntut di belakang hari.

“Sudah kuliah seperti biasa, dia (EP) memang bilang sempat mengalami kekosongan pembimbing akadedik (PA) tapi ya itu soal akademiklah ya tak menjurus ke pribadi anak saya, saya rasa juga enggak masalah. Tapi yang saya harapkan sekarang jangan ada buntut yang dihubungkan nanti di belakang, sehingga anak saya terganggu kuliahnya,” jelasnya.

Senator Lampung, Andi Surya meminta polisi untuk menghubungi keluarga EP untuk menggali keterangan lebih jauh.

“Polisi sebaiknya sudah memikirkan untuk menghubungi keluarga korban dugaan pelecehan seks di Kampus UIN Raden Intan,” kata Anggota MPR/DPD RI, dalam pernyataannya kepada media baru-baru ini.

Kabarnya EP saat ini traumatik banyak berdiam diri di rumah dan merasa diasingkan oleh pihak kampus.

Kabar yang beredar disebutkan ada dua kali utusan kampus UIN yang menemui keluarga korban dengan maksud mediasi, namun menurut keluarga, ada pernyataan dari utusan tersebut, jika kasus dugaan pelecehan seks ini diteruskan kepada aparat kepolisian maka akan terjadi ‘Yang menang jadi arang dan yang kalah jadi abu’.

“Kabar ini merupakan informasi yang harus ditelusuri polisi, karena ungkapan ‘menang jadi arang kalah jadi abu’ seolah-olah merendahkan proses hukum dan ketidakpercayaan kepada aparat penegak hukum baik kepolisian maupun pengadilan sekaligus upaya menakut-nakuti keluarga korban untuk tidak meneruskan proses hukum,” ujar Andi Surya.

Mantan Anggota DPRD Lampung ini berpendapat, yang dikhawatirkan jika pihak keluarga menghentikan delik aduan yang saat ini sedang diproses polisi oleh karena ungkapan itu.

“Artinya ada upaya menghalang-halangi jalan hukum menciptakan keadilan kepada korban,” ujarnya.

Andi menambahkan, Indonesia negara hukum, dan dugaan kasus pelecehan seks ini masalah serius tentang hak dan keadilan untuk perempuan, ungkapan bernada negatif itu menurut Andi upaya mendegradasi keluhuran hukum yang memiliki tujuan mencipta rasa keadilan di negeri ini.

“Artinya sama dengan meragukan profesionalitas aparat kepolisian dalam mengungkap dan membuktikan suatu peristiwa dugaan pelanggaran hukum,” ujar Andi Surya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *