Catatan Akhir Tahun 2018 FSBKU-KSN soal Buruh

Yohanes Joko. Foto ist

Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) Federasi Anggota dari Konfederasi Serikat Nasional (KSN) memberikan catatan kritis atas situasi ekonomi politik di tahun 2018 terutama mengenai persoalan ketenagakerjaan dan perburuhan.
Beberapa hal yang perlu menjadi catatan kritis adalah sebagai berikut, kondisi perburuhan Indonesia, langgengnya praktik politik upah murah. Saat ini ketertindasan kaum buruh atas sistem politik upah murah tiada hentinya bahkan hal tersebut semakin menggurita dan dilakukan secara terstruktur, sistematis  dan massif oleh persekongkolan peguasa dan pengusaha.
Di tahun 2018 ini secara nyata dilakukan oleh negara melalui Kementrian Tenaga Kerjanya yang pada pokoknya memerintahkan dan mewajibkan para kepala daerah di Indonesia untuk menetapkan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2019 mendatang dengan mengacu terhadap Formula PP 78 Tahun 2015 tentang pengupahan yang menetapkan upah hanya sebatas berdasarkan Inflasi ditambah PDB Nasional tidak lagi menyandarkan Kebutuhan Hidup Layak sebagai dasar penetapan upah.
Bicara praktik politik upah murah tidak hanya sebatas tentang penetapan upah minimum pertiap tahunnya saja tetapi juga sistem kerja kontrak dan outsourcing yang kian marak juga merupakan bentuk perampasan upah atau penerapan politik upah murah karena akibat dari sistem kerja tersebut banyak buruh yang tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya sebagai tenaga kerja.
FSBKU-KSN mencatat bahkan tidak sedikit pekerjaan inti perusahaan (Core Business) yang dilakukan oleh tenaga kerja, dan juga pekerjaan tetap yang dikerjakan secara terus menerus yang buruhya selama bertahun-tahun masih menyandang status buruh kontrak.
Yaitu, memberangusan serikat buruh (Union Busting) sebagai bentuk penyempitan ruang
demokrasi bagi kaum buruh
tindakan  pemberangusan serikat buruh selalu menjadi ancaman serius bagi para pengurus serikat atau aktivis buruh dalam memperjuangkan nasibnya. 
Tindakan ini selalu dilakukan oleh pengusaha sebagai upaya melanggengkan pelanggarannya. Ketika buruh melakukan upaya perjuangan untuk mendapatkan hak dan merubah nasibnya kearah yang lebih baik pengusaha membalasnya dengan tindakan PHK terhadap pengurus, me-mutasi kerja oengurus dengan alasan-alasan yang mengada-ngada bahkan membuat serikat buruh tandingan yang dapat dikendalikan oleh pengusaha.
Di tahun 2018 ini FSBKU-KSN mencatat 65 % permasalahan ketenagakerjaan yang diadvokasi oleh organisasi adalah oermasalahan Union Busting. Lemahnya pengawasan dan penegakkan hukum menjadi dalang langgengnya tindakan Union Busting, hal ini perlu menjadi catatan bahwa negara harus hadir dalam melindung hak setiap warga negaranya dalam berdemokrasi. 

Landreform : Hak hidup, tempat tinggal dan lahan garapan tepat di Hari Tani Nasional tahun 2018 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang diklaim sebagai komitmen pemerintah dalam memberikan distribusi lahan seluas 9 juta hektar dan hutan kelola rakyat lewat perhutanan sosial sekitar 12,7 juta hektar sampai 2019.

Kebijakan ini mendapat perhatian banyak pihak ada yang mengapresiasi kebijakan ini terlebih petani yang bertahun-tahun mengalami konflik. Namun ada pula yang menolak kebijakan tersebut dengan dasar bahwa hal ini hanya akal-akalan kaum modal dan melanggengkan upaya land market untuk mempermudah perampasan tanah rakyat. 
Namun yang menjadi penting dan harus di garis bawahi dalam program ini adalah tidak menyentuh akar penyelesaian konflik agraria karena realita di lapangan konflik agraria masih terjadi. karena Kebijakan reforma agraria masih jauh dari kata ideal karena tujuan kebijakannya tidak berfokus pada restrukturalisasi lahan untuk membenahi ketimpangan struktural, kepemilikan, penguasaan akan akses agraria dan menata ulang tatanan yang tidak adil. Sehingga perspektif pelaksanaan reforma agraria harus diarahkan ke akar penyelesaian konflik agraria bukan hanya sebatas legalisasi aset atau sertifikasi lahan.
Tingginya angka konflik agraria di tahun 2018 ini tercatat tindakan kekerasan terhadap kaum tani terjadi di 18 Provinsi dengan 66 orang di tembak, 144 luka-luka, 854 orang ditangkap, 10 orang meninggal dunia dan 120 orang dikriminalisasi.

Selain persoalan konflik lahan di pedesaan permasalahan agraria juga terjadi di wilayah pesisir pantai. Massifnya investasi modal dikawasan pesisir dengan wujud reklamasi pantai terus meminggirkan dan memiskinkan kaum nelayan seperti Nelayan Teluk Jakarta, Teluk Lampung, Teluk Benoa Bali dan banyak di daerah lainnya di Indonesia. hal ini berdampak terhadap berkurangnya bahkan terampasnya wilayah kelola nelayan tradisional, merusak ekosistem laut dan memperparah pencemaran lingkungan dengan hal itu nelayan tradisional kehilangan sumber kehidupannya. Selain itu program reklamasi juga mengancam tergusurnya pemukiman nelayan atas nama penertiban tentunya kebijakan ini telah mengsampingkan Hak hidup rakyat.

Perampasan hak hidup rakyat untuk bertempat tinggal juga perlu menjadi catatan serius di Tahun 2018. 79 kasus penggusuran di wilayah Jakarta, penggusuran paksa pemukiman Kulonprogo, penggusuran pemukiman Pasar Griya Lampung, Pekayon Bekasi, Taman Sri Bandung, masyarakat Limboto Gorontalo dan masih banyak lainnya. Hal tersebut banyak dilakukan secara pihak tanpa musyawarah dan tidak memikirkan dampak sosial dan Ekonomi bagi para korban penggusuran.   

Masalah pendidikan dan kesehatan
liberalisasi dalam dunia pendidikan telah banyak mengubah tujuan atau orientasi dari pendidikan seutuhnya. Pendidikan bukan lagi hak publik atau layanan publik yang semestinya dapat diakses oleh setiap orang namun dalam prinsip neoliberalisme pendidikan di komoditifkan (tak ubahnya menjadi barang dagangang) untuk menggali keuntungan si tuan modalnya. Sehingga merubah orientasi pendidikan yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa melainkan menjadi objek bisnis sekaligus penyokong tenaga kerja untuk industri kapitalis. 

Dan semakin menjauhkan pendidikan dengan kehidupan rakyat dan bangsanya. Wujud liberalisasi pendidikan saat ini dapat kita lihat dalam penerapan program uang kuliah tunggal yang merupakan akibat dari penerapan UU No. 12/ 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang terus mendesak agar pendidikan tinggi di Indonesia dikelola sebagai badan hukum layaknya korporasi sebagai upaya melepas tanggung jawab negara dalam urusan pendidikan.
Sehingga dalam prakteknya untuk keperluan pembiayaan, biaya dibebankan pada mahasiswa, menciptakan badan usaha dan bekerjasama dengan swasta. Hal ini membuat akses rakyat terhadap pendidikan semakin diskriminatif. Mempersulit anak buruh, petani, nelayan, pedagang kecil untuk mengakses pendidikan tinggi.
Hal tersebut diperparah dengan maraknya pelanggaran HAM di Indonesia tercatat sepanjang tahun 2018 Komnas HAM Mencatat 11 kasus pelanggaran HAM di dunia pendidikan hak-hak yang dilanggar antara lain hak atas pendidikan, hak memperooleh keadilan, hak mengembangkan diri, hak atas kesejahteraan dan hak atas hidup. Sementara itu, sejak 2017 sampai Agustus 2018 rezim Jokowi melalui institusi pendidikannya melakukan tindak kekerasan, intimidasi, hingga kriminalisasi terhadap mahasiswa.
Tercatat sebanyak 115 mahasiswa mendapat skorsing, 54 mahasiswa mendapat sanksi DO, 192 orang mengalami tindak kekerasan, bahkan 190 orang dikriminalisasi.
Sisi pelayanan kesehatan terhadap masyarakat pun semakin lama semakin nampak tujuan aslinya yaitu sebagai lahan bisnis yang sama tujuannya untuk menguntungkan kepentingan tuan modalnya.
Upaya negara melepas tanggungjawabnya terhadap rakyat di bidang kesehatan juga berdampak kepada tidak maksimalnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat karena orientasinya sudah mengenai untung rugi modal bukan lagi kepentingan publik dan mensejahterakan rakyat. 
Program BPJS yang diklaim sebagai wujud penyelenggaraan kesehatan gratis oleh pemerintah pun telah gagal mengakomodir pelayanan kesehatan yang maksimal bagi masyarakat karena BPJS tidak ubahnya seperti asuransi sosial. Bahkan di tahun 2018 ini BPJS terus mengalami defisit dan menjadi beban negara dan menyengsarakan rakyat.
Realisasi perlindungan sosial tansformatif untuk merealisasikan ini perjuangan politik rakyat atas kekuasaan negara menjadi tak terelakan. Watak akumulasi dibalik pelayanan kesehatan publik adalah konsekuensi hilangnya kekuasaan kelas pekerja untuk menentukan skema pelayanan perlindungan sosial yang menguntungkan rakyat itu sendiri. Oleh karenanya upaya untuk merebut kekuasaan oleh organisasi politik rakyat menjadi keharusan ketika agenda perlindungan sosial transformatif hendak direalisasikan.
Hanya dengan inilah kita dapat menegakan kembali ideal-ideal bernegara yang pernah diletakan oleh para pendiri negara kita. Yakni ideal politik untuk memanusiakan manusia itu sendiri yaitu, dibiayai negara: alih-alih dibiayai oleh para pengguna, jaminan sosial harus diibiayai secara penuh oleh negara.
Partisipatif: sistem jaminan sosial yang dibangun harus memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara penuh untuk menentukan serta mengubah kondisi dimana mereka berada.
Politis: sistem jaminan sosial harus membangun serta mendorong kesaradaran seluruh rakyat sebagai warga negara aktif yang memiliki hak untuk dilindungi oleh negara.
Kolektif: jaminan sosial yang diimplementasikan harus didasarkan pada prinsip kolektifitas dimana perlindungan bertujuan untuk memperkuat hubungan serta kolektifitas antar mereka yang dilindungi oleh sistem itu sendiri.
Redistributif: sistem jaminan sosial harus memungkinkan transfer kesejahteraan dari yang kaya ke yang miskin.
Anti kapitalis: sistem jaminan sosial harus dibangun di atas dasar kendali yang kritis terhadap kekuatan ekonomi politik kapitalisme. Kapitalisme yang mendasarkan operasinya pada logika keuntungan semata harus ditundukan dalam operasi system jaminan sosial yang baru ini.
Produktif: operasi jaminan sosial didasarkan pada upaya penjaminan masyarakat yang produktif, yang mampu untuk menciptakan kesejahteraan diatas dasar kebaikan bersama
Afirmatif: jaminan sosial yang dibangun harus mengafirmasi keberadaan kelompok masyarakat yang minoritas serta dipinggirkan melalui kemudahan sistemik bagi kelompok ini untuk mendapatkan pelayanan jaminan sosial.
Ekologis: bahwa sistem jaminan sosial yang dibangun bukan hanya tidak bertentangan dengan upaya mendukung kondisi ekologi yang sehat bagi kehidupan manusia, namun juga berorientasi untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan secara ekologis.
Berkeadilan gender sistem jaminan sosial mendukung posisi perempuan dan melakukan tantangan sistemik terhadap sistem patriarki yang meminggirkan perempuan.
Preventif: sistem jaminan sosial harus beroperasi di atas prinsip pencegahan atas kehidupan sosial yang tidak layak dan rapuh. Pelayanan diberikan bukan pada saat kehidupan warga negara mengalami masalah dan dengannya perlu untuk dilindungi, namun justru sebelum masalah atas warga negara itu terjadi.
Universal: pelayanan sistem perlindungan sosial yang diberikan diberikan kepada seluruh warga negara tanpa ada diskriminasi kelas, agama dan juga kesukuan.

Untuk itu saat ini gerakan buruh harus mampu memimpin persatuan seluruh gerakan rakyat dan mempelopori terbentuknya kekuatan politik alternatif untuk menghancurkan kekuatan neoliberalisme-kapitalisme guna mewujudkan masyarakat yang adil, setara dan sejahtera.

(Sumber Ketua Umum FSBKU-KSN , Yohanes Joko Purwanto, Jakarta, 31  Desember 2018)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *