Feni, Feni

ANDAI video pertama yang beredar baik di medsos maupun di youtube FS kemudian “jadi konsumsi” media, bisa dipertahankan hingga ke gigir maut. Niscaya dukungan akan menhalir pada Feni. Sejumlah NGO, semisal Damar tentu akan mendampingi dan mendukung sampai tuntas.

Persoalan “pelecehan” maupun “meremehkan” perempuan di tempat keramaian akan mengundang simpati dan empati orang. Betapapun, lokasi di hiburan malam; dan seorang mahasiswi sangat disesalkan berada di sana.
Mencari hiburan. Ya boleh jadi. Tetapi apakah bar seperti itu satu-satunya tujuan untuk menghapus kejenuhan? Jawabannya, tentu tidak. Ada karaoke keluarga, dan tempat hiburan lain yang lebih positif dinilai orang.
Tetapi, sudahlah kita tak bicara soal tempat (locus). Soal pernyataan Feni yang awal; kala itu dihadiri sejumlah jurnalis/media.
Dari rekaman yang kadung viral itu, ada pertanyaan yang diajukan (sepertinya sambil menunjuk foto), “apakah ini orangnya (maksudnya, FS)?” Feni menjawab, “ya.” Seharusnya clear itu. Ucapan itu yang dipertahankan, apalagi dianggapnya adalah benar. Memertahankan kebenaran itu berat memang. Namun itu akan mengundang banyak orang untuk mendukung. Sama-sama memperjuangkan hakikat diri Feni sebagai perempuan. Sebagai “calon ibu” yang dalam katamutiara, sebagai tiang agama/negara.
Perempuan berada di atas segala yang mesti dihormati di dunia ini. Maka tak heran, sesorang lelaki akan bisa moncer karirnya karena perempuan. Dan lelaki juga dapat terjerembab mencium lumpur oleh sebab satu perempuan.
Itu sebabnya, dalam berpolitiki keberpihakan pada perempuan mendapat persentase pula.
Feni telah menggulirkan analogi, “kekuasaan” atau yang “sedang berkuasa” bisa tercabik-cabik apabila melecehkan dan merendahkan perempuan.
Lewat video pertama, sesungguhnya Feni telah memainkan sebuah permainan ini. Terlepas ada desas-desus, “ah, ini ada permainan dari lawan politik.” Atau, “Feni sengaja dijadikan wayang bagi yang tidak suka pada FS.” Dan ragam lagi yang nyaris serupa.
Cuma Feni yang tahu sebenarnya. Hanya Feni yang bisa tahu apa yang ada di dalam hatinya. Apakah kala ia “melaporkan ke APH” yang pertama dan mendatangkan jurnalis dalam jumpa pers, benar-benar demi kebenaran dan memerjuangkan citra atau marwah seorang perempuan. Notabene mahasiswi. Masih remaja. Belia.
Inilah yang menggugah hati saya. “Berani nian Feni menentang orang yang sedang punya kuasa.” Lalu saya berdoa: semoga Fani diberikan kekuatan berhadapan dengan ‘otoriter’ kaum lelaki! Biarpun saya juga adalah lelaki.
Lucunya, pemberitaan kemudian jadi berbalik drastis. Diawali akad damai antara Romi dan kawan Fani. Dramatik sekali. Ada foto salam-salaman. Lalu dianggap selesai penganiayaan. Namun, apakah musabab dari penganiyaan — yaitu pelecehan, kalau benar ada — turut selesai juga?
Ada yang menarik dari helat damai, ternyata yang mengenakan jaket FS bukan petinggi partai dan petinggi di DPRD Provinsi Lampung. Akan tetapi, rekan Romi. Rekannya yang memakai jaket FS.
Pinjam? Saya meyakini jaket itu semacam uniform. Hanya pemilik sah yang boleh mengenakan. Bukan jaket yang bisa dipakai untuk umum. Lalu, siapa lelaki itu. Pertanyaan “liar” ini menggoda saya.
Feni, duh Feni. Kenapa ada pernyataan jilid kedua. Justru mementahkan pernyataan sendiri sebelumnya? Justru seperti memainkan cerita yang tidak menarik. Tidak kokoh. Malah sebaliknya, masyarakat menganggap ada apa di balik pembacaan teks permintaan maaf dan menafikan semua pernyataan sendiri yang telah viral itu?
Akibatnya, para pewarta merasa ditipu oleh Feni. Geram. Media, karena pernyataan jilid kedua, seakan “diludahi” oleh kata-kata dusta.
Nah inilah yang kemudian berkembang, dari pemberitaan yang saya baca: akan menuntut Feni. Feni kini jadi orang pertama – bukan orang kedua seperti sebelum ini – yang (akan) dituntut.
Dan, FS akan senyap. Boleh jadi?

Feni, Feni… Duh

(*)

Isbedy Stiawan ZS

penikmat media

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *