Bandarlampung – Program reforma agraria yang digenjot pemerintah saat ini relatif dapat dirasakan masyarakat terkait kejelasan hak atas lahan-lahan sengketa sehingga relatif ada peningkatan hak kepemilikan lahan warga, namun belum semua persoalan lahan bisa terselesaikan.
Menanggapi masalah ini, Anggota MPR/DPD RI, Andi Surya, memberi masukan terkait persoalan konflik lahan saat ini dalam kaitan dengan program reforma agraria.
“Soal kepemilikan hak-hak atas lahan kita masih terganjal oleh sistem Belanda. Meski Belanda sudah tidak menjajah namun peninggalannya masih membelenggu persoalan agraria di republik ini sehingga menyebabkan masih banyak konflik,” kata Senator Lampung ini, melalui siaran pers, Selasa (20/02).
Dilanjutkannya, dua hal yang masih mewarnai persoalan konflik lahan warisan Belanda, yaitu lahan register dan lahan Grondkaart (GK) adalah bukti dari peninggalan sistem Belanda yang masih mempengaruhi kebijakan agraria.
“Dua hal ini secara kasat mata belum dapat diselesaikan oleh program reforma agraria,” urai Andi Surya.
Dijelaskan Andi Surya, kebijakan kawasan register zaman Belanda masih mengeliminir hak-hak agraria warga masyarakat. Penduduk semakin berkembang membutuhkan ruang hidup masuk ke pinggiran kawasan register puluhan tahun lalu namun UU Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang bersandar pada kebijakan register Belanda membelenggu warga masyarakat untuk mendapatkan hak milik lahan.
“Ternyata UU ini masih lebih menghargai hewan-hewan liar dan tetumbuhan hutan dibanding manusia sebagaimana diatur oleh sistem register yang dibuat Belanda sebelum RI merdeka,” ujar Andi Surya.
Dilanjutkannnya, peninggalan sistem Belanda lainnya adalah kawasan bantaran rel kereta api yang disebut Grondkaart (GK) juga merupakan api dalam sekam terhadap persoalan lahan di republik ini. GK yang cuma gambar situasi Belanda untuk jaringan rel KA telah dimanfaatkan oleh BUMN PT. KAI sebagai dokumen kepemilikan sehingga warga masyarakat yang telah puluhan tahun mendiami bantaran rel sulit untuk mensertifikasi hak milik lahannya karena diklaim oleh PT. KAI”, sebut Andi Surya.
“Khusus GK ini, DPD RI telah melakukan telaah bersama para pakar hukum agraria, disimpulkan GK bukan merupakan dokumen kepemilikan, GK tidak pernah didaftarkan dalam program konversi hak-hak barat sesuai UUPA No. 5/1960, dan GK tidak ada aslinya, dengan demikian menjadi diskursus apakah benar klaim PT. KAI bisa menguasai lahan bantaran rel lebih dari 6 m yang menjadi wilayah operasional sesuai PPKA No 56/2009,” jelas Andi Surya.
Andi Surya, menyatakan, semestinya para Capres dalam debat bisa menyinggung masalah ini pada segmen pembicaraan tentang Agraria agar masyarakat bisa tahu arah dan rencana mengatasi persoalan lahan yang masih terbelenggu sistem Belanda ini.
“Saya berharap ini menjadi perhatian Capres dalam materi kampanye mereka ke depan,” pungkas Andi Surya. (TeAm)