OJK Keluarkan Aturan Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Tekhnologi

Jakarta  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada akhir tahun lalu telah mengeluarkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor
77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi
Informasi (LPMUBTI).
Regulasi ini
diharapkan dapat mendukung pertumbuhan industri LPMUBTI
atau Fintech Peer-to-Peer (P2P)
Lending sebagai alternatif sumber pembiayaan
baru bagi masyarakat yang selama ini belum dapat dilayani
secara maksimal
oleh
industri jasa keuangan konvensional, seperti perbankan, pasar modal,
perusahaan pembiayaan, dan modal
ventura.
POJK ini
juga dibuat untuk melindungi kepentingan konsumen dan nasional,
dan pada saat yang sama tetap
menyediakan ruang bagi penyelenggara Fintech
di Tanah Air untuk dapat tumbuh dan berkembang, serta memberi
kontribusi
bagi perekonomian
nasional.
Deputi
Komisioner Manajemen Strategis IA Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
Imansyah, mengatakan dalam rangka
mendukung Strategi Nasional Keuangan
Inklusi (SNKI), penyelenggara Fintech P2P Lending diharapkan
dapat membuka
akses dana pinjaman
baik dari luar negeri maupun dari berbagai daerah di
dalam negeri kepada masyarakat luas
yang membutuhkan.
Penyelenggara
Fintech P2P Lending juga diharapkan dapat memperbaiki
tingkat keseimbangan dan mempercepat
distribusi pembiayaan bagi Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) ke berbagai daerah.
“POJK ini
juga sejalan dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Tim
Percepatan Akses Keuangan Daerah
(TPAKD) serta mendukung program
Nawacita, Program Gerakan 1.000 start-up, dan Paket Kebijakan Ekonomi 14 yang dicanangkan oleh Pemerintah,”
kata Imansyah
, dalam pesan tertulis, Selasa(10/01/2017).
Penyelenggara
Fintech P2P Lending dalam POJK ini dikelompokkan sebagai
lembaga jasa keuangan lainnya yang
masuk dalam ranah pengawasan sector
Industri Keuangan Non Bank (IKNB). Selain mengatur penyelenggaraan
LPMUBTI atau Fintech P2P Lending, POJK
ini juga mendorong terciptanya ekosistem Fintech secara
menyeluruh yang
mencakup
Fintech 2.0 (antara lain Fintech perbankan, pasar modal,
perasuransian, dana pensiun, lembaga
keuangan mikro, perusahaan
pembiayaan, modal ventura, pergadaian, penjaminan, dan payment) dan Fintech 3.0 (antara lain Fintech
big-data-analytic, aggregator, robo-advisor,
blockchain, dan lain-lain).
Pertumbuhan
jumlah Penyelenggara Fintech start-up di tahun 2016 telah
meningkat sekitar tiga kali lipat
dari sekitar 51 perusahaan pada TW-I 2016
menjadi 135 perusahaan pada TW-IV 2016.
Pertumbuhan
yang sangat cepat ini perlu diantisipasi untuk melindungi
kepentingan konsumen terkait keamanan
dana dan data, serta kepentingan
nasional terkait pencegahan pencucian uang dan pendanaan
terorisme, serta
stabilitas
sistem keuangan.
Dalam rangka
mengadopsi semangat regulatory sandbox sebagaimana
diimplementasikan pada pengaturan
Fintech start-up di berbagai negara, POJK
ini menerapkan ketentuan mengenai pendaftaran dan perizinan. Penyelenggara diwajibkan untuk
melakukan pendaftaran sebelum mengajukan
permohonan untuk memperoleh izin.
Dalam masa
pendaftaran ini, Penyelenggara telah dapat melakukan aktivitas
secara penuh dengan mendapat
pendampingan dari OJK yang secara terus
menerus melakukan evaluasi. Paling lama 1 (satu) tahun
setelah terdaftar,
Penyelenggara
wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh izin kepada
OJK.
Untuk
melindungi kepentingan konsumen, Penyelenggara antara lain wajib
menyediakan escrow account dan
virtual account di perbankan serta
menempatkan data center di dalam negeri. Guna melindungi
kepentingan
stabilitas sistem
keuangan nasional, jumlah pinjaman dibatasi maksimal
Rp2.000.000.000,- dalam mata uang
Rupiah.
Melalui
peraturan ini, OJK juga memfasilitasi dukungan bagi perkembangan
inovasi ekonomi digital di masa
mendatang dengan menyiapkan infrastruktur
berupa Fintech Incubator Centre. (*0

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *