LIKA-LIKU PL MENCARI REJEKI INSTAN

 

 

Ilustrasi/ Foto Ist
BANDARLAMPUNG-
Putri(20), Dewi(19), Gita(22) dan Gadis(21) begitu nama akrab mereka di waktu
malam di tempatnya bekerja.
Nama
empat wanita yang terdengar manis itu bukanlah nama sebenarnya, mereka hanya
memakai nama itu agar lebih familiar saat bekerja sebagai Pemandu Lagu(PL) yang
bertugas menemani tamu para lelaki yang mencari hiburan karaoke di waktu malam,
khususnya di Jalan Yos Sudarso Kecamatan Sukaraja Bandarlampung. 
Dewi
dan belasan rekan kerjanya berpakaian minim(sexi)dengan setia menunggu para
lelaki penikmat malam sambil menghisap batang demi batang rokok mild dan berbincang  akrab dengan sesama profesinya.
Tak
jarang ia mengurai senyum dan menyapa kepada lelaki yang bertandang ke lokasi
hiburan Highclass seraya berharap lelaki yang menyapanya mengajak dirinya untuk
menemani bernyanyi dan berdendang menghilangkan kepenatan.
Masalahnya
bukan di situ, dimungkinkan dengan usia yang tergolong belia mereka mudah
terbawa arus pergaulan yang kurang baik dikarenakan seusia mereka tergolong
emosinya labil.
Tidak
ada gaji, apalagi jaminan kesehatan kerja yang didapat mereka, hanya uang Fee
yang diperolehnya pun dihitung per jam saat mereka menemani berdendang para
tamu.
Untuk
mendapat uang ‘jajan’ lebih mereka amat berharap mendapat uang dari kebaikan
hati para tamu yang memilihnya sebagai PL.
Tak
pelak berbagai cara yang kurang umum pun dilakoninya seperti berpenampilan
seronok, berjoget gaya erotis dan menenggak minuman keras(Miras).
Itu
dilakukan agar memberi kenyamanan para tamu, bukan rahasia umum jika tamu yang
merasa puas dengan pelayanan yang diberikan pasti akan memberi uang tip.
Dewi
mengaku, menggeluti profesi PL dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan, gaji
di tempat kerja yang lain amat rendah, belum lagi tuntutan ekonomi kebutuhan
sehari-hari yang terus menjepit. Menjadi PL dengan mudahnya mendapatkan uang.
“Faktor
ekonomi yang membuat saya kerja begini,”ucap gadis berparas ayu itu
sembari mengepulkan asap rokok dari bibirnya yang mungil, belum lama ini.
Jalan
Yos Sudarso terletak di Pesisir Teluk Lampung, kota Bandarlampung yang terkenal
dengan istilah kota Tapis Berseri.
Sebuah
kota Metropolis yang rutin menggelar kegiatan keagamaan seperti Musabbaqoh
Tilawatil Qur’an(MTQ) disetiap tahunnya, serta menjadi kota Urban dengan
beragam tempat usaha yang merangkul tenagakerja.
Namun
di kota itu pula remaja-remaja seperti Dewi dan ratusan PL lain menggantungkan
nasib di tempat hiburan.
Bekerja
sebagai PL bukanlah pilihan yang baik, namun terkadang karena mudahnya mendapat
pundi Rupiah jika sedang beruntung.
Dewi
menuturkan, dirinya tidak bisa menjawab pasti, kapan ia bisa mengakhiri profesi
yang sedang dia dilakoni.
“Yang
pasti sesuka hati saya berenti dari pekerjaan ini,” ucap wanita berambut
setengkuk ini.
Dengan
dorongan mencari pekerjaan mudah serta membantu beban ekonomi keluarga, wanita
berambut lurus itu merasa profesi ini(PL) terbaik untuk dirinya saat ini.
Tawaran
meladeni pelayanan ‘lebih’, pun sering dilontarkan dari bibir para tamu yang
berkunjung ‘Short time yuk?’ begitu kalimat yang sering disergahkan tamu kepada
Dewi, yang memintanya berbuat mesum. Terlebih tamu itu sudah mabuk.
Namun
wanita berkulit putih ini mengaku, bersikap seprofesional mungkin menghadapi
para lelaki yang meminta layanan ‘plus’.
“Kalau
saya enggak bisa(diajak mesum),”ungkap Dewi.
Persoalan
klasik di lingkaran seperti ini identik dengan Narkotika dan
Obat-obatan(Narkoba) yang selalu mengintai kehidupan malam, dengan piawainya
para pengguna barang haram ini mampu menyelinap dan berbaur di lokasi ini, tak
pelak Dewi dan teman seprofesinya pun terkadang mengkonsumsi Narkoba jika
diberi oleh para tamu, dengan adanya tawaran Narkoba ‘gratis’ otomatis ‘Gayung
bersambut’, satu sama lain saling mendukung.
Terkadang
ada saja para tamu yang datang sembari mengkonsumsi Narkoba dan menawarinya.
Padahal
efek Narkoba yang fatal bagi generasi bangsa adalah penghacur masadepan mereka,
bahkan semboyan untuk para pelaku dan pengguna Narkoba’Bui atau Mati’ gencar digaungkan
para pemangku kepentingan dan penegak hukum.
Potret Yang
Sama                                  
Kisah
Dewi di Teluk Lampung hampir sama dengan, Intan(bukan nama sebenarnya) yang
juga berprofesi sebagai PL di Kecamatan Tanjung Senang, Bandarlampung.
Intan
(21) gadis yang tinggal di Kecamatan Garuntang, berambut lurus sebahu, yang
mempunyai suara tak begitu merdu itu sengaja memilih tempat bekerja yang
berjarak belasan kilo meter dari kediamannya.
Ia
memilih lokasi tempatnya bekerja yang cukup jauh dikarenakan menghindar dari
orang yang mengenalnya.
Jalan
terjal berbatu, melewati perkampungan untuk bisa sampai lokasi tempat ia
bekerja, meski lokasi yang cukup terpencil berdekatan dengan perbatasan antar
Kabupaten Lampung Selatan dan kota Bandarlampung, namun lokasi tersebut cukup
terkenal, terbukti dengan banyaknya PL dan para tamu yang mencari hiburan
malam.
Gadis
yang mengaku hanya lulus SMP ini pun terlihat amat antusias dalam bekerja,
wajahnya yang cukup familiar di kalangan tempat karaoke dikarenakan Intan yang
berbadan kurus ini telah beberapa kali pindah lokasi kerja.
Dia
menuturkan, hanya membantu ekonomi keluarga dan bisa mandiri dengan bisa
mengumpulkan pundi-pundi rupiah hasil karyanya itulah niatnya bekerja, kadang
keluh dia terucap di saat sepinya tamu yang datang disinyalir mencamurnya
tempat karaoke dengan lokasi strategis, menyediakan PL dan berbagai paket
layanan.
“Makin
hari makin sepi,” keluh wanita ramah ini.
Dia
bercerita, diwaktu ramai pernah dalam semalam ia mendapat uang tip hingga Rp 2
juta, namun terkadang jika sepi menerpa ia pulang dengan tangan hampa, tak
pelak pekerjaan yang dilakoninya sering mendapat tawaran layanan ‘lebih’ dari
tamu, karena kebutuhan ekonomi dan peralatan mack up yang mendesak terkadang
dirinya mau melayani.
“Tapi
saya liat dulu orangnya muda apa tua. Pernah ada yang tua saya minta Rp 1,5 juta,”
ucap dia dengan nada polos.
Apa
pandangan Psikolog dari Universitas Lampung(Unila)?
Merubah
wanita ‘baik’ menjadi seorang PL ternyata bisa karena faktor individu
(perseorangan) dan faktor lingkungan.
Seseorang
yang dimungkinkan menilik gaya hidup PL agar hidup mereka lebih mapan.
“Secara
ekonomi yang tinggi, pendapatan mereka juga tinggi,”ucap Psikolog, Diah
Utaminingsih. S.psi.. A, Psi.
Usia
belia kata Diah, jelas belum mandiri dalam mencukupi kebutuhan namun para
wanita yang melakoni profesi PL secara individu dia ingin menunjukan gaya hidup
mereka sebagai salah satu gaya hidup. Menjadi PL kata Dosen Bimbingan Konseling
ini, adalah pilihan gaya hidup.
“Saya
sangat tidak sepakat jika menjadi PL karena ekonomi, karena telah korbankan
harga diri. Kalau alasan terjebak itu pilihan, kita bisa katakan Yes or
No,” ucapnya.
Dia
mencontohkan, wanita lugu dari desa Urban ke kota, harusnya sebelum hijrah bisa
berfikir ulang, bakal kerja apa di kota sebagai antisipasi.
Menjadi
PL tidaklah bertahan lama dalam artian mereka umumnya ‘menjual’ usia dan
kecantikan. Sedangkan kecantikan dan usia lambat laun termakan waktu, mirisnya
kehidupan seperti ini bisa beregenerasi tersisih oleh yang lain.
“Itu
pasti,” imbuhnya.
Uniknya
pilihan wanita menjadi PL kata Diah, ibarat prisip ekonomi ‘Semakin tinggi
permintaan semakin banyak barang’.
“Itu
terjadi karena ada permintaan, jika tidak ada permintaan maka pelanggan tidak
akan bertahan. Seperti produk,”sergahnya.
Hendaknya
kata Diah, peran pemerintah, masyarakat dan keluarga sama-sama mengontrol guna
meminimalisir sedini mungkin agar generasi bangsa bisa terbebas dari hal
negatif.
Saat
ini memang banyak dikarenakan kontrol sosial yang lemah.
“Saya
melihatnya baiknya semua lapisan harus kerjasama minimalisir dari hal yang
kecil,” tutur dia.
Saat
ini kehidupan malam atau pekerjaan malam bagi wanita bukan hal yang aneh namun
ini hal yang biasa.
Untuk
itu lanjut Diah, jika ada pengusaha yang akan mendirikan bangunan baiknya
pemerintah mengkaji kembali kegunaan bangunan itu.
“Saya
yakin jika ada peran pemerintah dengan tegas mungkin bisa diminamilisir,”
imbuhnya.
Diah
juga tidak menuding PL adalah pekerjaan yang buruk, namun paling tidak kata
Diah, jika wanita ingin mendapat pria yang baik, maka jadilah wanita yang baik,
umumnya jika wanita baik bertemu dengan pria baik.
“Bukan
berarti PL itu buruk. Kan bisa lebih sopan berpenampilan seperti di rumah makan
atau restoran,” tutupnya.

 

Andai
semua orang tua bisa menjaga puterinya, dengan membekali pendidikan yang
matang. Masyarakat bisa saling mengawasi
dan pengawasan birokrasi yang baik, mungkin buruknya kehidupan malam
bisa diminimalisir dan para remaja bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dari
pendidikan yang mumpuni.(Andi Priyadi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *