Bandar Lampung — Selama tiga hari (23–25 Oktober 2025), Lampung Literature menyelenggarakan Workshop Penciptaan Videopuisi (Videopoetry) di Perpustakaan Daerah Provinsi Lampung, sebagai bagian dari Program Penguatan Komunitas Sastra Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia Tahun Anggaran 2025.
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber lintas disiplin—Iswadi Pratama (sutradara dan penyair), Ari Pahala Hutabarat (Sutradara, penyair), dan Iin Muthmainnah (sineas dan penyair)—serta diikuti oleh dua puluh peserta dari kalangan penulis muda, mahasiswa, dan komunitas seni.
Penanggung jawab Lampung Literature, Iskandar, menyampaikan bahwa kegiatan ini memberi bekal komprehensif bagi peserta dalam memahami sekaligus memproduksi karya videopuisi.
“Selama tiga hari, peserta mendapat materi yang cukup lengkap dari tiga pemateri, mulai dari interpretasi teks, directing, pemilihan materi video, teknik editing, hingga praktik langsung membuat videopuisi,” ujarnya.
Menurut Iskandar, videopuisi bukan hanya latihan teknis, tetapi juga cara baru memahami puisi sebagai bentuk seni yang adaptif.
“Kami berharap kedua puluh peserta workshop bisa menjadi perpanjangan tangan dalam upaya kita memperbanyak ruang diseminasi sastra di era digital,” lanjutnya.
Dalam sesinya bertajuk “Migrasi Mencari Cahaya,” Iswadi Pratama menekankan bahwa videopuisi bukan sekadar hasil kolaborasi antara teks dan video, tetapi sebuah bentuk seni hibrida yang menggabungkan keduanya sebagai perangkat puitik yang sejajar.
“Musik dan gambar dalam videopuisi bukan pelengkap dari teks. Mereka adalah perangkat puitik itu sendiri. Videopuisi bukan ilustrasi dari puisi, tapi penciptaan makna baru melalui hubungan antara bunyi, gambar, dan bahasa,” paparnya.
Sineas Iin Muthmainnah dalam sesinya yang bertajuk “Menjembatani Makna” mengajak peserta berpikir ulang tentang hakikat puisi dan video sebelum keduanya disatukan.
“Menulis puisi berarti menata bahasa menjadi puitik. Membuat videopuisi berarti menata audio dan visual agar menjadi puitik, dengan tetap berlandaskan pada teks puisi,” jelasnya.
Menurutnya, proses pertama yang harus dilakukan adalah interpretasi teks. Semakin luas wawasan dan kepekaan pembuatnya, semakin kaya pula hasil tafsir yang muncul dalam bentuk audio-visual.
“Videopuisi bukan sekadar karya teknis, tapi kerja reflektif. Ia menguji kemampuan kita memahami bahasa dan menerjemahkannya dalam bentuk yang bisa dirasakan secara inderawi,” tambahnya.
Sementara itu, Ari Pahala Hutabarat dalam materinya “Menyutradarai Puisi” menguraikan bahwa videopuisi pada dasarnya adalah peristiwa puitik yang disutradarai.
“Dalam puisi, bahasa adalah alat sekaligus tujuan. Maka dalam videopuisi, audio dan visual juga menjadi alat sekaligus makna itu sendiri,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa seni selalu berangkat dari tata—penataan. Jika puisi mengolah diksi, metafor, musikalitas, dan imajeri, maka videopuisi mengolah komposisi gambar, warna, angle, dan ritme.
“Menyutradarai puisi berarti menata ulang pengalaman bahasa dalam medium lain tanpa kehilangan jiwanya, justru memperkaya,” tegasnya.
Selama tiga hari pelaksanaan, peserta tidak hanya mendalami teori, tetapi juga memproduksi karya videopuisi berdurasi 1–3 menit. Hasil karya peserta akan dikurasi, dan lima karya terbaik akan ditayangkan dalam pemutaran khusus di kanal digital Lampung Literature.
