Bandarlampung – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan tidak sesuai ketentuan pembayaran mencapai Rp987,419 juta (hampir Rp1 M) .
Temuan itu soal puluhan paket proyek jasa konsultansi kontruksi dan non kontruksi di Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya (PKPCK) Lampung tahun anggaran 2024.
BPK merinci, tahun 2024 Pemprov Lampung merealisasikan belanja jasa konsultansi konstruksi sebesar Rp56, 606 miliar dari Rp89, 478 miliar atau 63,26 persen dari anggaran.
Kemudian, anggaran belanja jasa konsultansi non konstruksi sebesar Rp19 981 miliar, dan telah direalisasikan sebesar Rp13, 375 miliar atau 66,94 persen dari anggaran.
BPK menyebutkan, anggaran dan realisasi paket proyek jasa konsultansi kontruksi dan non kontruksi tersebut, salah satunya dialokasikan di Dinas PKPCK Lampung untuk jasa konsultansi perencanaan, pengawasan, dan jasa konsultansi lainnya.
BPK juga menyatakan, sesuai hasil pemeriksaan di Dinas PKPCK realisasi belanja yang dibayarkan kepada konsultan kontruksi, tapi tidak melaksanakan pekerjaan sesuai jangka waktu dalam kontrak.
Kemudian dalam catatan BPK RI, anggaran Dinas PKPCK Lampung sebesar Rp87,17 miliar digunakan untuk belanja persediaan barang yang mencakup pembangunan dan peningkatan jalan lingkungan, jalan paving, serta pembuatan sumur bor. Namun, dalam pemeriksaan atas 26 paket pekerjaan senilai Rp6,79 miliar, BPK menemukan kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp708 juta, ketidaksesuaian spesifikasi senilai Rp355 juta, dan denda keterlambatan senilai Rp14,7 juta yang tidak diproses.
Pekerjaan pembangunan jalan lingkungan menyumbang kerugian terbesar. Dari 21 paket yang diperiksa, BPK mencatat adanya kekurangan volume pada pekerjaan lataston HRS AC-WC, lapen, onderlagh, dan pemasangan pasir paving block senilai Rp637 juta. Selain itu, terdapat ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan lataston HRS AC-WC yang nilainya mencapai Rp355 juta. Kondisi ini menandakan bahwa kualitas dan kuantitas pekerjaan tidak sesuai kontrak yang telah dibayar penuh menggunakan uang rakyat.
Kemudian, empat proyek sumur bor juga mengalami masalah serupa. Total nilai kontrak keempat proyek tersebut sebesar Rp432 juta, namun ditemukan kekurangan volume senilai Rp70,9 juta. Kekurangan terjadi pada item pekerjaan pengeboran, pembesaran lubang (reaming), pengujian, pencucian, serta pekerjaan konstruksi rangka besi tower. Lokasi proyek ini tersebar di RS Jiwa Provinsi Lampung (CV AKP), Komplek Kantor ESI Lampung (CV BIO), Dusun Tangkit Baru, Kecamatan Natar (CV KS), dan Gang Marwan Atas, Kelurahan Sukajawa (CV KS).
“Proyek sumur bor lainnya yang dikerjakan oleh CV SAH di Masjid Jami’us Sukajadi, Sukadanaham, mengalami keterlambatan hingga 151 hari sejak masa kontrak berakhir pada 14 Desember 2024. Namun dalam audit hingga 15 Mei 2025, BPK mencatat bahwa denda keterlambatan sebesar Rp14.717.415,08 belum dikenakan. Padahal dalam kontrak dinyatakan bahwa keterlambatan dikenai denda 1% dari nilai kontrak sebelum PPN untuk setiap hari keterlambatan. Ketidakpatuhan ini menunjukkan lemahnya kontrol administratif terhadap pelaksanaan kontrak,” demikian petikan LHP BPK RI.
LHP BPK mencatat bahwa terdapat 14 penyedia jasa yang harus mengembalikan kelebihan pembayaran dengan total nilai Rp477.786.697,34:
CV KJ – Rp54.168.984,57
CV SSK – Rp54.952.036,36
CV SA – Rp27.094.168,07
CV NKM – Rp35.296.362,96
CV AFP – Rp29.008.093,66
CV SB – Rp43.100.656,79
CV TEL – Rp47.998.260,60
CV PL – Rp70.599.661,72
CV ACPM – Rp29.504.809,77
CV BT – Rp8.372.430,00
CV BS – Rp6.724.441,19
CV BIO – Rp8.809.377,82
CV AKP – Rp31.370.868,70
CV KS – Rp30.786.545,13
Selain itu, ada 7 penyedia jasa lain yang terindikasi melakukan potensi kelebihan pembayaran sebesar Rp586.307.387,60:
CV RPJ – Rp31.911.599,31
CV PGJ – Rp35.505.036,85
CV KGM – Rp30.902.548,95
CV BJ – Rp113.789.518,38
CV GAM – Rp186.774.840,08
CV SMB – Rp101.254.998,34
CV TEL (juga disebut sebelumnya)-Rp86.168.845,69
Khusus untuk CV SAH, BPK menegaskan bahwa potensi kekurangan penerimaan daerah atas denda keterlambatan sebesar Rp14.717.415,08 juga wajib diproses dan disetorkan ke kas daerah.
“BPK menyimpulkan bahwa akar masalah berasal dari kelalaian Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) yang tidak cermat menguji volume dan spesifikasi pekerjaan. Mereka juga gagal mengenakan denda keterlambatan sebagaimana diatur dalam peraturan. Di sisi lain, penyedia jasa tidak melaksanakan pekerjaan sesuai kontrak,” petikan LHP BPK RI.(ndi)
