Jakarta – Mantan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Wakabareskrim) Polri Irjen Pol Johny M Samosir meminta permohonan perlindungan hukum ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Surat permohonan perlindungan hukum ke Presiden Jokowi itu dikirimkan melalui Gunawan Raka kuasa hukum Johny M Samosir pada, Senin, 6 Maret 2023.
Permohonan perlindungan yang diminta setelah Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat melakukan penahanan kepada Johny M Samosir yang surat perintahnya diterbitkan pada 1 Maret 2023 atas berkas perkara dari penyidik Bareskrim Polri No BP/49/VI/2021/Dittipidum tanggal 25 Juni 2021.
Mantan Wakabareskrim Polri Irjen Pol Johny M Samosir dituding melakukang tidak pidana penggelapan dan melanggar Pasal 372 KUHP.
Pria kelahiran Pematang Siantar 15 Desember 1957 itu ditahan sebagai sebagai Direktur PT Konawe Putra Propertindo setelah dikhawatirkan akan melarikan diri.
Terkait dengan penahanan Johny M Samosir, Gunawan Raka menjelaskan, PT Konawe Putra Propertindo merupakan perusahaan pembangun dan perintis Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Konawe di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara sejak tahun 2013.
PT Konawe Putra Propertindo diundang oleh Pemerintah Kabupaten Konawe untuk berinvestasi dalam pembangunan kawasan Industri diatas lahan seluas 5.500 hektare.
Perizinan dan rekomendasi telah dimiliki oleh Klien kami (PT.Konawe Putra Propertindo) dalam mengelola kawasan industri Konawe dan telah berhasil membebaskan lahan (lebih kurang) seluas 730 hektare.
Termasuk, membangun infrastruktur seperti membangun jalan sepanjang 32 km, Pelabuhan dan lain lainnya untuk dapat bisa menjadi Kawasan Industri dalam waktu 8 bulan sejak berinvestasi.
“Bahwa dalam perkembangannya, perjanjian kontrak kerja antara pihak klien kami dengan pihak PT. VDNI terindikasi adanya konspirasi dalam tindak kejahatan yang dilakukan oleh Direktur Perusahaan PT. Konawe Putra Propertindo yang terdahulu yaitu Huang Zuochao,” ungkap Gunawan.
Huang Zuochao, telah diberhentikan dari kedudukannya sebagai Direktur Utama berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada tanggal 27 Agustus 2018.
Pemberhentian itu tertuang dalam Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT Konawe Putra Propertindo No. 2 tertanggal 3 September 2018 yang dibuat di hadapan Musa Muamarta, S.H., Notaris di Jakarta.
Selanjutnya, terjadi Perubahan Direktur Utama, ini telah diberitahukan kepada Kemenkumham sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku serta telah diterima oleh Kemenkumham.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Surat Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Nomor AHU-AH.01.03-0241710 tertanggal 12 September 2018 perihal Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan PT Konawe Putra Propertindo.
Bahwa sehubungan dengan hal tersebut Direktur PT. Konawe Putra Propertindo yaitu Irjen Pol (Purn) Jhonny Samosir memerintahkan wakil Direktur atas nama Eddy Wijaya untuk membuat laporan Polisi di Polda Sulawesi Tenggara.
Laporan polisi tersebut sebagaimana teregistrasi dalam Laporan Polisi Nomor : LP/281/VI/2019/SPKT Polda Sultra tertanggal 20 Juni 2019.
Laporan polisi itu disampaikan PT. Konawe Putra Propertindo karena terjadinya tindak pidana penggelapan dalam jabatan atau penggelapan hak atas tanah dalam perseroan terbatas.
Diduga pula terjadi tindak pidana di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 KUHPidana atau pasal 374 KUHPidana, pasal 385 UU RI nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
“Itu terjadi di PT. Konawe Putra Propertindo yang diduga dilakukan oleh Huang Zuochao, selaku eks Direktur PT. Konawe Putra Propertindo,” terangnya.
Parahnya, diduga ada keterlibatan pihak-pihak lain. Karena, sambung Gunawan Raka, dari hasil pengumpulan alat bukti, petunjuk, saksi-saksi diketahui telah terjadi penggelapan atas aset-aset dan uang PT. KPP oleh tersangka Huang Zuochao dan Wang Bao Guang.
“Nah, saat ini perkara tersebut telah dilimpahkan penanganan perkaranya ke Bareskrim Polri,” ungkap Gunawan Raka.
Ini sebagaimana tertuang dalam surat Pemberitahuan perkembangan hasil Penyidikan (SP2HP) ke-8 Nomor: B/82/X/2020 Ditreskrimsus tertanggal 16 Oktober 2020.
Yang intinya, kasus tersebut telah dilimpahkan penanganan atas laporan tersebut ke Dirpidsus Bareskrim Polri.
“Perlu kami jelaskan bahwa atas laporan kami tersebut, Polda Sultra telah menetapkan 2 tersangka dan menerbitkan daftar pencarian Orang (DPO) serta Red Notice terhadap dua tersangka tersebut,” terangnya.
Anehnya, sampai saat ini tidak dilimpahkan ke kejaksaan untuk melakukan penuntutan, malahan tiba-tiba perkara tersebut di SP3 yang mana hal tersebut melanggar Pasal 221 KUHP tentang Obstruction of justice.
Dimana, kata Gunawan, hal tersebut menunjukan adanya penghalangan keadilan atau perintangan penyidikan, ketidakadilan dan ketidak profesionalan Polri dalam menyidik perkara.
Di mana Laporan nomor: LP / 281 / VI / 2019 / SPKT Polda Sultra tertanggal 20 Juni 2019 yang seharusnya diajukan dalam tahap penuntutan justru dihentikan tanpa alasan.
“Sementara Laporan Polisi Nomor: LP/B/1063/XII/2019/Bareskrim tanggal 26 Desember 2019 terhadap klien kami yang tidak berdasar diproses seperti perkara dalam perhatian khusus,” urai Gunawan.
Parahnya lagi, Johny M Samosir dilaporkan ke Bareskrim Polri sebagaimana tertuang dalam laporan Polisi Nomor : LP/B/1063/XII/2019/Bareskrim atas nama Pelapor Davin Pramasdita.
Johny M Samosir dituding melakukan tindak pidana penggelapan terhadap asli 64 sertifikat.
“Anehnya penyidik telah menetapkan klien kami (Johny M. Samosir) yang baru menjabat sebagai anggota direksi pada tanggal 3 September 2018,” ungkap Gunawan.
Ini sesuai dengan surat penetapan tersangka nomor : S.Tap/17/IV/2021/ Dittipidum pada 8 April 2021 (Pasal 372 KUHP).
“Sedangkan pelaku sebenarnya Huang Zuo Chao tidak ditetapkan sebagai tersangka. Padahal segala transaksi illegal tersebut dilakukan oleh Huang Zhuo Cha,” jelasnya.
Di akhir penjelasan, Gunawan mengatakan dalam menyelesaikan semua permasalahan hukum terhadap kliennya mengedepankan penyelesaian hukum sesuai dengan Undang-Undang 1945 dan supremasi hukum di Indonesia.
Pihaknya berharap bahwa DPR RI yang mempunyai tugas dan fungsi sebagai pengontrol urusan Dalam Negeri sesuai dengan Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR berhak mengawasi segala kegiatan yang bersifat Ilegal terutama kasus ini.
Termasuk Lembaga Pemerintahan maupun Non Pemerintahan, untuk itu atas tindakan penyerobotan lahan dan pengambilalihan aset-aset yang telah dilakukan oleh PT.VDNI dan PT. VDNIP dengan cara menguasai secara melawan hukum.
“Seolah olah tindakan tersebut legal maka kami mohon kiranya dapat dilakukan pengawasan dan tindakan lain yang dipandang perlu agar bersesuaian dengan asas hukum negara demokrasi,” pintanya.
Bahwa, proses hukum yang sudah berjalan saat ini agar disupervisi dan diawasi untuk mencegah terjadinya kriminalisasi hukum terhadap orang-orang tertentu dan badan hukum tertentu.
Fakta ini merugikan kepentingan masyarakat dalam hal ini WNI serta kepentingan Nasional.
Di sisi lain Laporan Polisi dalam Perkara a quo adalah berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP/1063/Xll/2019/Bareskrim tanggal 26 Desember 2019 adalah premature.
Dan peristiwanya, sambung Gunawan, termasuk dalam lingkup keperdataan dan proses pembuktian bertentangan dengan pasal 184 KUHAP.
Karena barang yang menjadi pokok perkara masih dalam persengketaan sehingga belum jelas siapa yang berhak atas objek barang berperkara dan objek tersebut pula yang digelapkan dibawa lari ke luar negeri.
“Oleh karenanya, bersama surat ini kami mohon kepada Bapak Presiden Joko Widodo agar berkenan memberikan bantuan dan perlindungan hukum kepada klien kami agar diperlakukan secara manusiawi berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan HAM,” tutup Gunawan Raka.(rls)