Legal Interpretism, Isu Penghapusan Jabatan Gubernur Vs Jabatan Walikota/Bupati

Catatan: Andi Surya

Akademisi Universitas Mitra Indonesia (UMITRA), Bandarlampung

Ketua Umum (Ketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin mengatakan bahwa sebaiknya jabatan gubernur di Indonesia dihapus. Sebab, dia menilai jabatan gubernur dalam sistem pemerintahan tak terlalu fungsional, (Liputan6, 04/02/2023).

Isu penghapusan jabatan gubernur menjadi menarik, sebab kewenangan gubernur ditarik kepada kekuasaan pemerintah pusat. Artinya, kekuasaan dan kewenangan gubernur selama ini sesungguhnya tidak efektif karena faktor politik, anggaran, dan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota.

Disadari, terdapat fakta beberapa kasus kepala daerah (bupati, walikota) yang tidak tunduk kepada gubernur, lebih disebabkan karena aliansi politik, atau perbedaan kepentingan dalam menangani isu-isu dan program pembangunan di daerah masing-masing.

Atas dasar itu semua, memang bisa saja jabatan gubernur dihilangkan dengan sebuah interpretasi hukum ketatanegaraan yang melihat dari sudut pandang pemerintah pusat, yaitu dengan mengangkat atau menggantikan gubernur sebagai pejabat setingkat menteri, seperti usulan Cak Imin yaitu Gubernur Jenderal.

Pertanyaannya, apa legal interpretrism, atau bagaimana interpretasi secara hukum atas penggergajian jabatan gubernur dalam kerangka pemerintahan di daerah, khususnya setingkat provinsional, dan memaksakan kewenangan presiden untuk mengangkat pejabat setingkat menteri untuk mengatur kekuasaan di daerah yang selama ini dipilih oleh rakyat.

Bagaimana pula jabatan bupati/walikota yang secara pragmatis teoritis dapat dianalisis dengan mengacu konflik koordinatif dengan jabatan gubernur, potensi konflik horisontal dari pilkada, bukankah banyak masalah terhadap demokrasi dan politik lokal setingkat kabupaten/kota.

*Legal Interpretism*

Legal interpretism atau disebut hukum interpretatif, dalam pemikiran kritis tentang norma aturan, yang membenturkan antara hukum dan moral. Filsuf hukum terkenal Amerika Serikat, Ronald Dworkin, mengkritik secara radikal pemisahan yang begitu tajam antara hukum dan moralitas seperti lazim terjadi dalam positivisme hukum dalam kaitan hukum interpretatif ini, (Herman Bakir, Universitas Borobudur, Jkt).

Dworkin mengkaji pandangan, tentang hukum sabagai sebuah interpretasi. Model interpretasi konstruktif yang dikembangkan oleh Dworkin merupakan tantangan yang sangat serius bagi yurisprudensi analitis pada umumnya, dan khususnya bagi positivisme hukum. Tantangan ini bersifat substantif dan metodologis, (Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara, Hukum sebagai Interpretasi, 2012).

Kaitannya dengan isu penghapusan jabatan gubernur yang dimunculkan Cak Imin menjadi sebuah kajian interpretasi hukum, dalam pandangan pengamat hukum, tentu ada benturan aspek hukum dan moral di dalamnya. Aspek hukum terkait dengan norma atau teks yang terdapat dalam UUD 1945 dengan turunannya UU Pemerintah Daerah.

Sementara aspek moral, adalah nilai-nilai demokrasi, yang selama ini, pasca orde baru, memasuki orde reformasi, kedaulatan rakyat menjadi barang berharga untuk sebuah bangunan yang berfondasi moralitas yaitu keabsahan kekuasaan yang bersumber dari suara rakyat, akan dibentur dengan aturan hukum positif jika isu penghapusan jabatan gubernur menggelinding di meja para pembuat aturan di lembaga legislatif.

Tentu, jalan pikir Dworkin menjadi penyeimbang, bahwa hukum tidak bisa lepas dari moralitas, artinya kedaulatan rakyat yang diatur dalam UUD 1945 sebagai hukum positif tidak bisa diukur dengan anggaran, atau juga diukur dengan efisiensi dan efektifitas rentang kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Apalagi dengan alasan jabatan gubernur dianggap tidak fungsional.

*Politik Hukum Jabatan Gubernur*

Kita ingin menguji sampai sejauh mana politik hukum tertuju pada pemerintahan di daerah, yang secara historis, dalam sebuah bangunan ketatanegaraan yang senyampang dengan nilai demokrasi sebagai sumber hukum, apakah jabatan gubernur itu cukup penting untuk mengangkat kesejahteraan rakyat secara provinsional.

Kewenangan gubernur untuk mengatur pembangunan di tingkat provinsi tentu sudah jelas, ketika seorang gubernur telah terpilih dan dilantik, dia tidak hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah tetapi juga sebagai kepala daerah yang berwenang mengatur kebijakan-kebijakan pembangunan, termasuk pembangunan setingkat kabupaten atau kota yang berada di wilayahnya.

Di sisi lain, politik hukum negara yang mengatur kekuasaan pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten cenderung tidak equal dalam kerangka koordinatif. Sebab, ketika gubernur, walikota dan bupati diangkat oleh rakyat melalui pemilihan, dalam perpektif hukum dan politik bisa di interpretasi, akan terjadi konflik, karena sama-sama merasa seimbang, akibatnya seorang kepala daerah di tingkat kabupaten atau kota bisa saja tidak taat kepada gubernur karena sama-sama merasa dipilih oleh rakyat.

*Moral Demokrasi*

Interpretatif hukum terhadap kekuasaan gubernur dihadapkan dengan kekuasaan bupati atau walikota, akibat isu penghapusan jabatan gubernur, akhirnya bisa menjadi perdebatan hukum dan moral. Sebab dalam nalar legalitas, kekuasaan bupati/walikota bisa terjadi benturan dengan kewenangan gubernur dalam berbagai kasus.

Secara moral demokrasi, meski bupati/walikota dipilih oleh rakyat dan dengan demikian memunculkan kekuasaannya, bisa merongrong kewenangan gubernur, karena ada anggapan gubernur bukan atasan. Di lain pihak, terdapat kompetisi dalam hal perebutan anggaran dan kebijakan program pembangunan di daerah, karena sama-sama memiliki hak anggaran kepada pemerintah pusat.

Bupati/walikota bisa mengakses sendiri berbagai variabel dana transfer daerah berupa DAK, DAU, bagi hasil, dan lain sebagainya kepada pemerintah pusat, sehingga akibatnya kebijakan anggaran secara holistik dipenuhi dengan tuntutan mikro yang berasal dari kabupaten dan kota. Apakah tidak sebaiknya digeneralisir saja urusan anggaran ini menjadi kewenangan gubernur secara makro provinsional sehingga tercipta keteraturan baik prioritas maupun kewajiban anggaran tertentu.

*Jabatan Walikota/Bupati*

Pemilihan walikota dan bupati, telah diakui beberapa pakar sosiologi, politik dan demokrasi, terjadi eskalasi konflik horisontal sosial politik yang berimplikasi pada berbagai sektor seperti; ekonomi, budaya, sara, dllsb, termasuk juga pemilihan gubernur.

Artinya terdapat gejala negatif demokrasi pilkada/walikota/bupati berupa potensi konflik sosial politik di tengah masyarakat, maka secara interpretatif hukum bisa saja jabatan walikota/bupati dihilangkan demi keseimbangan kekuasaan provinsional, yang jika jabatan walikota/bupati dihapuskan bisa menekan pengkotakan atau ego sektoral pemerintahan kota dan kabupaten.

Artinya, secara kuantitatif lebih baik jabatan walikota dan bupati yang dihilangkan daripada penghapusan jabatan gubernur. Jika jabatan walikota/bupati dihilangkan akan mengurangi potensi konflik di hampir 514 kabupaten/kota, dibandingkan dengan 38 provinsi, di Indonesia.

*Kesimpulan*

Jika tujuan Cak Imin menggulirkan wacana penghapusan jabatan gubernur hanya karena masalah fungsi, tentu tidak terlalu tuntas dalam menyelesaikan masalah, karena sesungguhnya bukan itu masalahnya karena ada dimensi lain yang terkait dengan jabatan gubernur, di lain pihak akan menimbulkan perdebatan dalam ranah legal interpretatif antara hukum dan moral demokrasi.

Justru akan terasa lebih efektif jika jabatan walikota/bupati yang ditanggalkan, lalu diperkuat jabatan gubernur dengan kewenangan mengangkat Kepala Administratif (sebagai pengganti walikota atau bupati, setingkat kepala dinas), sehingga proses pembangunan provinsi lebih terkoordinasi dan efektif sekaligus efisien dari sisi anggaran, karena setidaknya meniadakan anggaran pilkada 514 bupati/walikota se Indonesia serta mengurangi ego sektoral kepala daerah dan mensinergikan pemenuhan anggaran maupun proritas pembangunan di masa depan.

Namun, ini semua merupakan wacana berpikir secara ‘legal interpretatism’, demi sebuah moral politik, demokrasi, kearifan lokal dan persatuan nasional, semua wacana pemikiran terbaik bisa menjadi bahan diskusi untuk bangsa ini memutuskan pola kekuasaan dan kewenangan yang terbaik di tingkat daerah dan regional. Salam demokrasi 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *