Klasika Gelar Diskusi, Ini Waktu dan Bahasannya

Bandar Lampung- Dalam ilmu
sosiologi ada yang disebut dengan sosiologi ketidaktahuan, menurut Wertheim
dalam buku Elit dan Massa:
  Kecenderungan
lapisan elit (penguasa) untuk membuat publik (massa) hanya mengatahui kebenaran
versi penguasa, adalah sebuah keniscayaan. Artinya, terdapat relasi kuasa yang
erat antara kekuasaan dengan pengetahuan. Kekuasaan membutuhkan legitimasi
pengetahuan sebagai dasar dalam membuat kebijakan. begitupun pengetahuan, ia
memerlukan kekuasaan sebagai kendaraan untuk membumikan kebenarannya.

Hal ini
menyebabkan semua usaha-usaha yang dilakukan massa untuk mencari pengetahuan
diluar presfektif penguasa, selalu mendapatkan represi dari negara. 
Padahal
Segala tindakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
termasuk berkumpul, berdikusi  dan
mengemukakan pendapat telah dijamin melalui undang-undang. Pasal 28 E ayat 3
UUD 1945, menyebutkan “ Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat”.  
Dalam Pasal
1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan  ke-4
disebutkan bahwa : “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ketentuan pasal
tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-satunya aturan main
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law).

Apa yang
terjadi pada peristiwa pembubaran diskusi sejarah 1965 dengan tema
“Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66 kemarin merupakan bukti nyata usaha
penguasa untuk menjaga  kebenaran
versinya. Seperti yang kita tahu, pembubaran diskusi yang dilakukan oleh pihak kepolisian di  hanya
bersandar pada alasan tidak mengantongi izin.  
Padahal
seperti yang dikatakan Ketua LBH Jakarta, Alghifari Aqsa tidak ada landasan
hukum yang mengharuskan kegiatan tersebut 
memerlukan surat pemberitahuan dan izin dari pihak kepolisian, karena
seminar dilakukan di dalam gedung. Pengacara publik LBH Yunita juga
menyebutkan  seminar tersebut bersifat
tertutup dan terbatas 50 orang.  Panitia
juga menambahkan bahwa kegiatan yang memerlukan izin adalah kegiatan yang
bersifat terbuka dimuka umum, sedangkan acara tersebut tidak dilakukan dimuka
umum.
Selain
masalah perizinan, pembubaran tersebut juga dikaitkan dengan isu bahwa seminar
yang dilakukan oleh Forum 65 tersebut merupakan penyebaran paham komunisme dan
bangkitnya PKI. Namun, hal  itu telah
diklarifikasi oleh pihak kepolisian bahwa diskusi tersebut bukan membahas paham
komunisme atau bangkitnya PKI.

Minggu, 17
September 2017, sebagai respon terhadap pembubaran seminar yang membahas
pelanggaran HAM 1965-1966 sehari sebelumnya, LBH Jakarta mengadakan pagelaran
musik bertajuk “Darurat Demokrasi”. Pagelaran itu menyuguhkan penampilan seni,
puisi, menyanyi, dan lain-lain.
Kemudian,
puluhan massa tiba-tiba datang menggruduk kantor LBH, mereka menyuarakan
‘Menolak PKI’ melalui teriakan-teriakan maupun poster, seolah-olah ada kegiatan
pro PKI di LBH Jakarta. Ketika massa datang, acara telah selesai dan peserta
kegiatan sudah akan meninggalkan lokasi, namun tertahan oleh massa aksi yang
semakin banyak dan berteriak ‘ganyang PKI’, ‘bubarkan PKI’, dan lainnya sambil
beberapa orang mulai menggoyang-goyangkan pagar kantor LBH Jakarta.
Pembubaran
yang dilakukan oleh Negara terhadap diskusi yang digelar oleh YLBHI/LBH
Jakarta, serta pengepungan oleh sekelompok orang beberapa hari yang lalu tidak
bisa kita anggap sepele, ini bukan hanya soal darurat demokrasi semata,
pembubaran dan pengepungan yang dialami oleh YLBHI/LBH Jakarta adalah
kristalisasi dari kompleksitas masalah berbangsa dan bernegara yang diidap
bangsa ini.
Jika
persoalan ini tidak dikaji secara serius dan mendalam, tragedi-tragedi serupa
bahkan lebih mengerikan, kemungkinan akan terulang kembali. Atas dasar itu
Klasika mencoba untuk membedah persoalan tersebut dengan beberapa perspektif
sesuai dengan disiplin ilmu para narasumber yang akan dihadirkan dalam
#dialoKlasika pada hari Rabu, 27 September 2017 pukul 19.00 Wib yang berlokasi
di Dawiel’s Kafe.
Beberapa
Narasumber yang akan dihadirkan dalam #dialoKlasika tersebut antara lain Aqil
Irham, Ahmad Yulden Erwin, dan Dedy Mawardi yang dimoderatori oleh Fatikhatul
Khoiriyah. Masing-masing Narasumber diharapkan mampu menganalisis tragedi
tersebut sesuai dengan konsentrasi keilmuannya. Klasika berharap dengan
digelarnya dialoKlasika ini dapat memberikan edukasi pada masyarakat luas,
khususnya Pemuda dan Mahasiswa.  (Sumber
Klasika Lampung)

                                                                                                                                                                                                          
                                                                                                                                                  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *