Dalam demokrasi keikutsertaan masyarakat dalam memilih pemimpin ditentukan diantaranya oleh antusiasme warga untuk memilih pemimpinnya, jika tidak dipenuhi maka melanggar hak asasi manusia dan telah melakukan tindak pidana pemilu.
Pengaturan mengenai hak pilih diatur dalam Pasal 28D ayat (3)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Sedangkan di dalam produk Undang-undang, dapat dilihat mengenai pengaturan hak
pilih pada Pasal 25 huruf (b) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Right (Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang berbunyi “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam memilih dan dipilih pada pemilihan umum”.
Di dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Pengaturan delik tindak pidana pemilu telah dimuat di dalam Pasal 476 sampai Pasal 554 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan juga terkhusus mengenai perbuatan penghilangan hak pilih diatur secara eksplisit di dalam Pasal 510 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menjelaskan bahwa“Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.
Sedangkan di dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, penghilangan hak pilih masyarakat di atur dalam Pasal 178
Undang-Undang Nomor 1Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang dijelakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja
menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh
empat juta rupiah)”.
Terkait dengan dugaan penghilangan hak pilih masyarakat, di Kabupaten Lampung Selatan ada 31.964 lembar C Pemberitahuan/Undangan pencoblosan tidak sampai ketangan para pemilih dan hal ini terjadi di tengah Demokrasi langsung sehingga merupakan bentuk kejahatan terhadap hak asasi Manusia.
KPU Kabupaten Lampung Selatan diduga telah mengabaikan hak-hak rakyat dan diduga telah merampas hak untuk menentukan pemimpin tersebut dilakukan secara sadis dan bengis, mengingat jumlahnya yang begitu banyak yang tidak memilih karena undangannya tidak sampai, sehingga KPU Kabupaten Lampung selatan harus tetap mengakomodir dan memberikan hak para pemilih tersebut dalam menentukan pemimpinnya sendiri dengan cara Pemungutan Suara Ulang (PSU) meskipun harus melalui putusan Mahkamah Konstitusi.
Puluhan ribu undangan yang tidak sampai kepada pemilih ini adalah diduga bentuk “Genosida Demokrasi” dan KPU Kabupaten Lampung Selatan harus mengambil langkah untuk bagaimana cara memberikan hak terhadap 31.964 pemilih untuk menentukan pemimpinnya di Kabupaten Lampung Selatan.
Pada kesimpulan akhir, bahwa jika KPU Lampung Selatan tetap bersikukuh dan mempertahankan dengan dalil-dalil pembenarannya bahwa 31.964 pemilih dianggap tidak dapat memberikan haknya meskipun terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) karena lembar C Pemberitahuan/Undangan pencoblosan diduga tidak sampai ke tangan para pemilih, maka nyata bahwa KPU Lampung Selatan telah melakukan Tindak Pidana Pemilu dan telah merampas hak rakyat Lampung Selatan dalam memilih pemimpinnya.
Idealnya, KPU Lampung Selatan tidak bersikukuh dengan memberikan pembenaran-pembenaran yang dapat menyebabkan hak hukum masyarakat menjadi lebih terpasung, diantaranya dengan cara tidak melawan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2020 Nomor 62/PAN.MK/AP3/12/2020Tanggal 18 Desember 2020 dari pasangan Tony Eka Candra – Antoni Imam Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lampung Selatan Nomor Urut 2 di Mahkamah Konstitusi yang telah diajukan oleh Tim Hukum dari Kantor Hukum Gindha Ansori Wayka – Thamaroni Usman & Rekan atas dugaan “genosida demokrasi” yang menyebabkan
31.964 pemilih diduga diamputasi haknya, tetapi mengamini dan bersama-sama untuk mendukung Mahkamah Konstitusi untuk membuat suatu dasar dalam memutuskan PSU, sehingga KPU dan Bawaslu Lampung Selatan sebagai Penyelenggara Pemilu dapat melakukan PSU menjadi legal dan berdasar hukum yang kuat.
Gindha Ansori Wayka
Akademisi dan Praktisi Hukum di Bandar Lampung dan Kuasa Hukum Pasangan Tony-Antoni Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lampung Selatan