Membaca sikap rekan-rekan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) akhir-akhir ini dengan statemen menyayangkan Putusan Bawaslu Loloskan Eks Napi di 2 Daerah (termasuk Kabupatean Lampung Selatan) sangat rasional, sebab terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 merupakan perjuangan 2 (dua) lembaga Anti Rasuah ini di Mahkamah Konsttitusi Tahun 2019.
Dalam hal ini, selintas tampak Bawaslu yang menangani persoalan Eks Nara Pidana terkesan meluluhlantakkan perjuangan hukum dalam demokrasi dari rekan-rekan ICW – PERLUDDEM termasuk semua elemen rakyat terkait pentingnya implementasi hak-hak politik warga Negara.
Pada dasarnya perhelatan pesta demokrasi memang terbuka lebar untuk kader bangsa dalam berkompetisi guna menduduki jabatan strategis di wilayah publik, baik untuk jabatan Presiden, DPR, DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota. Hal ini berdasarkan Pasal 27 (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjelaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Meskipun dalam Grundnorm (Norma Dasar) diatur soal hak dan kebebasan warga Negara dalam pemerintahan, tetapi dibatasi oleh kondisi kekinian (update) seseorang warga Negara dalam hal yang bersangkutan dengan perilaku dan peristiwa hukum seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Terkait implementasi hak warga Negara dalam pemerintahan di Lampung, beberapa pekan terakhir ada peristiwa hukum dimana Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lampung Selatan menganulir pencalonan pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati di Kabupaten Lampung Selatan (Lamsel) periode 2021-2026 yakni Pasangan H dan MHW.
Atas putusan ini KPU Kabupaten Lampung Selatan tentunya menganggap telah sesuai dengan Peraturan KPU (PKPU) dan Peraturan Bawaslu (PERBAWASLU) serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU No. 10 Tahun 2016), maka Pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada Bawaslu Kabupaten Lampung Selatan.
Al hasil, Keputusan Bawaslu Kabupaten Lampung Selatan sudah dapat “ditebak” sejak awal proses persidangan yakni akan menyatakan batal keputusan KPU Kabupaten Lampung Selatan yang menganulir pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati H dan MHW.
Ada hal yang menarik dari peristiwa politik dan hukum ini, ada interpretasi (penafsiran) yang berbeda atas hukum, akan tetapi yang menjadi perhatian adalah bahwa KPU Kabupaten Lampung Selatan pada prinsipnya sudah melakukan hal yang benar dan cermat dalam menganulir pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati H dan MHW, meskipun sudah diperbaiki dengan Putusan Bawaslu bahwa pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati H dan MHW dapat mengikuti kontestasi politik di Kabupaten Lampung Selatan.
Adapun pertimbangannya adalah bahwa apa yang menjadi dasar perhitungan KPU Kabupaten Lampung Selatan telah dilakukan dengan cermat, sesuai dengan Peraturan KPU No 9 Tahun 2020 dengan perhitungan pelaksanaan belum 5 (lima) tahun sebagai mantan terpidana dengan perhitungan waktu, apabila Pidana penjara 8 (delapan) bulan terhitung mulai 25 Februari 2015 dan melaksanakan Masa percobaan 18 (delapan belas) bulan terhitung Februari 2015 s/d 25 Agustus 2016. Putusan 8 (delapan) bulan, akan tetapi masa tenggang waktu pelaksanaan hukumannya yakni dengan masa percobaan 18 bulan meskipun tidak ditahan di lapas, sehingga, pertimbangan KPU Kabupaten Lampung Selatan adalah benar dalam penafsiran hukumnya.
Keputusan KPU Kabupaten Lampung Selatan pada dasarnya telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Gugatan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) dengan Nomor 56/PUU-XVII/2019 atas Uji Materiil Pasal Pasal 7 ayat (2) huruf (g) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU No. 10 Tahun 2016) yang menjelaskan “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Di dalam huruf (g) (i). Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
Dan (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5(lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. Dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Harus dipahami bahwa, kecenderungan posita dan petitum dari Gugatan rekan-rekan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) yang ditetapkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 atas Uji Materiil Pasal Pasal 7 ayat (2) huruf (g) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU No. 10 Tahun 2016), terfokus pada hak politik mantan narapidana korupsi (koruptor).
Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 terfokus pada frase bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah MANTAN TERPIDANA SELESAI MENJALANI PIDANA PENJARA saja, (sementara terhadap tindak pidana Percobaan meskipun sebagai mantan terpidana dan tidak ditahan di Lapas, tidak disebutkan setelah menjalani masa percobaannya dalam putusan tersebut).
Mengapa Putusan ini hanya menyebut setelah menjalani penjara, karena putusan pelaku tindak pidana korupsi jarang yang menggunakan vonis tindak pidana percobaan, karena pilihan instrumen putusan hukumnya dalam korupsi itu hanya ada 2 (dua) yakni putusan bebas atau dihukum dengan hukuman penjara dan jarang muncul hukuman percobaan dalam Korupsi, meskipun dalam hukum implementasi putusan percobaan ini sering digunakan.
Mahkamah Konstitusi pula tidak dapat dipersalahkan, karena memutus berdasarkan dalil-dalil yang muncul dalam posita dan petitum sebuah gugatan hukum.
Pada dasarnya, KPU Kabupaten Lampung Selatan bukan hanya telah melaksanakan Peraturan KPU dan UU No. 10 Tahun 2016 semata, namun nyatanya telah melakukan dengan cermat implementasi dari keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 termasuk sudah sesuai dengan Surat dari Mahkamah Agung yang ditujukan kepada Badan Pengawas Pemilu dengan surat Nomor: 30/Tuaka.Pid/IX/2015, Lampiran: 1 Lembar, Perihal Jawaban Atas Permohonan Fatwa Mahkamah Agung RI, Jakarta 16 September 2015 dalam rangka menjawab Surat Nomor: 0242/Bawaslu/IX/2015 Tanggal 2 September 2015.
Meskipun yang bersangkutan tidak dikurung badan (penjara), akan tetapi berdasarkan putusan hakim MHW, dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Turut serta menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan secara berlanjut” dengan vonis hukuman 8 (delapan) bulan dengan percobaan 18 Bulan, sehingga meskipun tidak dihukum penjara (LAPAS), tetapi statusnya adalah terpidana berdasarkan Keputusan Pengadilan dan kini merupakan mantan terpidana meskipun tidak dihukum penjara di Lapas, setelah 18 bulan yang bersangkutan melewatkan masa percobaan atas putusan dimaksud.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 pada dasarnya selaras dengan Surat dari Mahkamah Agung yang ditujukan kepada Badan Pengawas Pemilu dengan surat Nomor: 30/Tuaka.Pid/IX/2015, Lampiran: 1 Lembar, Perihal Jawaban Atas Permohonan Fatwa Mahkamah Agung RI, Jakarta 16 September 2015 dalam rangka menjawab Surat Nomor: 0242/Bawaslu/IX/2015 Tanggal 2 September 2015.
Di dalam Angka 1 (satu) surat tersebut telah secara terang benderang dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan TERPIDANA adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, MANTAN TERPIDANA adalah seseorang yang pernah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan NARAPIDANA adalah TERPIDANA yang menjalani Pidana hilang Kemerdekaan di LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan), dengan demikian jelas bahwa MANTAN NARAPIDANA adalah seseorang yang pernah menjalani PIDANA di dalam LAPAS.
Dari Uraian tersebut, menjadi jelas bahwa MANTAN TERPIDANA meskipun telah DIJATUHI PIDANA BELUM TENTU MENJALANI PIDANA DI DALAM LAPAS, misalnya seseorang yang dijatuhi pidana dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dengan masa percobaan selama 1 (satu) tahun, sehingga dia berstatus TERPIDANA tetapi tidak perlu menjalani pidana di dalam LAPAS, sedangkan MANTAN NARAPIDANA tentu telah pernah menjalani pidana di dalam Lapas.
Dalam kesimpulannya, jika berdasarkan apa yang diuraikan dalam angka 1 (satu) Surat Nomor: 30/Tuaka.Pid/IX/2015, Lampiran: 1 Lembar, Perihal Jawaban Atas Permohonan Fatwa Mahkamah Agung RI, Jakarta 16 September 2015, jelas bahwa tafsir dari Komisioner KPU Kabupaten Lampung Selatan selaras dengan fakta hukum bahwa TERPIDANA adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, meskipun tidak ditahan di Lapas karena putusannya bersifat percobaan, namun perbuatannya dapat dibuktikan secara hukum.
Perbedaan multitafsir antara KPU Kabupaten Lampung Selatan dan Bawaslu Kabupaten Lampung Selatan akan berdampak panjang dari keabsahan pemenang jika perhelatan Pilkada di Kabupaten Lampung Selatan dimenangkan oleh Pasangan Calon H dan MHW, oleh karenanya siapapun yang saat ini sedang memegang kendali dalam memutus perkara atau memutus apapun harus komprehensif dalam melakukan kajiannya, sehingga tidak merugikan warga Negara yang telah dijunjung hak hukum dan politik serta sosial kemsayarakatan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar 1945.
Penulis
Gindha Ansori Wayka
Praktisi dan Akademisi Hukum di Bandar Lampung dan Koordinator Presidium Komite Pemantau Kebijakan dan Anggaran Daerah
(KPKAD) Lampung