BANDAR LAMPUNG — Virus Corona menjadi sebuah perbincangan hangat tidak hanya di kalangan medis, namun juga masyarakat sipil. Sejak awal pemberitaannya pada 31 Desember 2019 mengenai wabah virus Corona di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, Covid-19 atau novel Coronavirus [2019-nCoV] telah menyebar cepat ke berbagai belahan dunia.
Hingga saat ini, data terbaru peta daring Center for Systems Science and Engineering (CSSE) dari Departemen Teknik Sipil Universitas John Hopkins mengungkapkan sejumlah 80.346 individu dari berbagai negara telah terkonfirmasi positif terinfeksi COVID-19, dengan total pasien meninggal 2.705 orang dan 27.844 lainnya berhasil pulih. Korban 2.536 orang yang dinyatakan meninggal berasal dari Hubei, Cina.
Awalnya, diketahui bahwa wabah ini merupakan penyebaran penyakit yang berasal dari satwa (zoonosis) kelelawar dan ular. Namun, hasil penelitian Shen Yongyi dan Xiao Lihua, peneliti asal South China Agricultural University, Guangzhou menemukan bahwa 99% material genetik virus corona pada manusia yang terinfeksi memiliki kesamaan dengan trenggiling.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada CNN Indonesia melalui peneliti mikrobiologi LIPI, Sugiyono Saputra juga membenarkan bahwa trenggiling terindikasi kuat sebagai perantara virus corona yang pertama kali merebak di Kota Wuhan, Hubei, China. Tak hanya menjadi perantara, bahkan trenggiling juga diidentifikasi memiliki virus corona sendiri dan virus sendai.
Fakta menunjukkan bahwa trenggiling merupakan salah satu spesies incaran dalam pasar gelap dunia dengan angka perdagangan yang tinggi.
Dilansir dari CCN Indonesia, Analis Wildlife Conservation Society Yunita Setyorini mengatakan hasil penelitian menyebut bahwa 26 ribu trenggiling di Indonesia diperjualbelikan secara ilegal dalam kurun sepuluh tahun. Mayoritas trenggiling di jual ilegal ke China. Warga China mempercayai sisik trenggiling bisa menyembuhkan penyakit seperti asma dan menambah vitalitas meski belum terbukti secara ilmiah. Kepercayaan ini meningkatkan angka konsumsi trenggiling.
Menurut Kajian Global Financial Integrity tahun 2011, perdagangan tumbuhan dan satwa liar ilegal secara global menempati urutan keempat sebagai kejahatan terorganisir lintas negara setelah perdagangan narkotika, manusia, dan barang palsu. Indonesia, berdasarkan data Perkumpulan SKALA melalui kemitraan KLHK tahun 2016 menyebutkan bahwa kerugian negara akibat perdagangan tumbuhan dan satwa liar illegal yang dilindungi mencapai lebih dari 9 triliun per-tahun.
Kini, Pemerintah Cina melalui The Standing Committee of the National People’s Congress akhirnya mengeluarkan aturan larangan perdagangan satwa liar ilegal dan konsumsi satwa liar. Hal ini dilakukan demi menjamin kesehatan dan keselamatan hidup penduduknya dari penyakit yang dibawa oleh satwa liar. (Xihuanet, 24 Februari 2020).
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung Hendry Sihaloho menuturkan agenda ini untuk meningkatkan pemahaman dan keberpihakan jurnalis di Lampung mengenai isu lingkungan, terutama mengenai perdagangan satwa liar ilegal dan zoonosis.
Acara akan berlangsung pada Sabtu, 29 Februari 2020 pukul 19:00-22:00 di Embun Caffe, Jl. Jend. Sudirman, Pahoman, Kec. Teluk Betung Utara, Kota Bandar Lampung, Lampung.
Adapun agenda ini akan diikuti 30 orang peserta yang merupakan jurnalis media cetak, elektronik, TV, radio, dan masyarakat umum yang berdomisili di Provinsi Lampung. Peserta diskusi bisa mendaftar pada link ini, .(Rilis Aji)