BANDAR LAMPUNG—Sidang sengketa lahan seluas 4.650 hektare antara PTPN VII dengan PT Bumi Madu Mandiri (BMM) terus berlanjut di PN Blambanganumpu, Way Kanan. Proses persidangan saat ini masih mendengarkan keterangan saksi-saksi dan ahli dari pihak para penggugat PTPN VII.
Salah satu ahli yang diajukan oleh PTPN VII pada sidang, Kamis(7/2/20) adalah Prof. Rehngena Purba yang merupakan guru besar hukum adat dari Universitas Sumatera Utara (USU) dan diketahui mantan hakim Agung. Dia mengatakan, suatu kelompok masyarakat tidak bisa mengklaim diri sebagai kelompok masyarakat hukum adat untuk kemudian menguasai sejumlah asset seperti tanah yang disebut tanah dengan klaim sebagai tahan ulayat terhadap tanah negara pernah diberikan hak pengusaan hutan atau pun tanah perkebunan milik negera tanpa adanya alasan hukum yang jelas. Oleh karena itu, dalam konteks menegakkan hukum atas sengketa lahan dua perusahaan yang beralas kepada pengakuan sekelompok masyarakat sebagai tanah ulayat harus dibuktikan secara hukum.
“Di sini, saya bukan pada posisi parapihak berpekara. Saya hanya menjelaskan, keilmuan hukum yang saya miliki. Bahwa ada prasyarat yang ketat dan bersipat komolatif bagi kelompok masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan memiliki hak ulayat. Jadi, terlebih dahulu harus dilakukan penelitian untuk membuktikan masih ada tidaknya masyarakat hukum adat sesuai ketentuan peraturan Menteri No.5 Tahun 1999 yang sudah diubah dengan Peraturan Menteri Agraria dan Kepala BPN No.9 tahun 2015. Lalu sudah diperbaruai dengan Peraturan menteri Agraria dan Tata Ruang No.10 Tahun 2016,” kata mantan Hakim Agung RI itu pada konferensi pers di Bandar Lampung, Selasa (11/2/20). Selai itu juga harus terdapat hubungan hukum yang jelas antara masyarakat hukum adat dan tanah ulayat adat yang diklaim sebagai sumber pencarian penghidupan yang bersifat komunal.
Tentang perjalanan kasus ini, kuasa hukum PTPN VII Dr. Sopian Sitepu mengatakan, pihaknya merasa perlu menghadirkan ahli untuk mendudukan legal standing sengketa ini khusunya yang berkaitan dengan hak wilayat adat sebagaimana yang di klaim oleh sekolopok atas tanah PTPN VII seluas 4.650 hektare yang sampai dengan saat ini masih tercatat sebagai milik PTPN VII dan secara terkonsolidasi tercatat dalam portal asset Kementerian BUMN.
Ia mengatakan, kesaksian Prof. Rehngena Purba ini secara gamblang telah mementahkan semua argumentasi dan bukti-bukti yang dipakai pihak PT BMM dalam kasus ini khususnya yang berkenaan dengan klaim adat atas asset tanah PTPN VII seluas 469 hektare.
Dalam pembuktian dipersidangan juga terungkap adanya akte yang dibuat didahapan notaris Chairul Anom oleh para tergugat yang secara gamblang menuliskan bahwa tahan 4.650 yang diklaim masyarakat adat Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dan Marga Buay Pemuka Pangeran Ilir adalah perkebunan tebu Bungamayang, hal ini merupakan bukti penggatakan yang merupakan bukti yang sempurna bahwa tanah ini asset PTPN VII bukan asset ulayat.
Sampai dengan saat kemenertian bumn selaku pemegangag saaham belum pernah melepaskan asset tanah tersebut.
“Legal standing kami mengajukan gugatan ini sangat jelas. Dalam hal ini, bedsarkan riwayat kepemilikan PTPN VII (dahulu PTPN XXI-XXII), mendapatkan hak penguasaan lahan dari pemerintah yang merupakan lahan dilokasi eks HPH PT BG. Dasaat Joint Venture Inc dan proses pembebasan lahannya pada tahun 1982 telah sesuai ketentuan melibatkan pemerintah kabupaten Lampung Utara. Jadi, tidak ada sangkut pautnya dengan masyarakat adat yang mengklaim bahwa lahan itu asset lahan itu adalah tanah ulayat,” kata dia.
Kasus sengketa ini bermula ketika euforia reformasi tahun 1999 masyarakat yang mengaku dari Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dan Marga Buay Pemuka Pangeran Ilir menguasai lahan kebun tebu yang sedang diusahakan PTPN VII Distrik Bungamayang secara paksa. Okupasi yang dilakukan secara paksa ini tidak bisa dihentikan meskipun sudah dilakukan berbagai upaya persuasif dan penyelamatan dengan melibatkan pemerintah daerah.
Dengan pertimbangan situasi keamanan pada saat itu, pihak PTPN VII memilih opsi lewat jalur hukum untuk menyelamatkan aset. Namun, seiring dengan waktu, justru pihak masyarakat melakukan transaksi penjualan lahan dimaksud dengan PT BMM. Untuk diketahui sejak mendapatkan lahan itu Eks. HPH PT B.G Dasad dan melakukan pembebasan lahan sejak tahun 1982 dengan pihak manapun, hingga saat ini.
Alas hukum yang mereka gunakan dalam transaksi ini adalah pengakuan dua kelompok masyarakat yang menyatakan lahan tersebut adalah tanah ulayat.
“Untuk diketahui, sejak mendapatkan lahan itu dari Eks. HPH PT B.G Dasad, PTPN VII belum pernah melakukan transaksi apapun dengan pihak manapun soal pengalihan hak atas lahan tersebut. Lalu, PTPN VII mengajukan gugatan kepada PT BMM dan kelompok masyarakat tersebut. Hingga saat ini, proses persidangan masih berlangsung secara maraton setiap hari Senin dan Kamis,” kata Sopian Sitepu.
Sopian menambahkan, pakta yang terungkap dalam persidangan diketahui PT BMM memperoleh tanah 4650 ha berdasarakan akte pelepasan hak kepada 3.200 yang mengaku sebagai Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dan Marga Buay Pemuka Pangeran Ilir. Dan berdasarkan keterangan saksi yang dihadirkan tidak mengakui memiliki tanah dan lokasi tahan yang menjadi objek yang dibuat didepan notaris hairul anom. Saksi juga menerangkan telah menerima sejumlah uang dengan menukarkan foto copi KTP. Dan tidak perna memiliki sepordiak dan alasa hak atas kepemilikan tahan.
“Secara logika hukum, sulit untuk menjelaskan kebenaran bahwa ada notaris yang mampu membuat 3.200 akte peralihan dalam waktu lima hari. Kami curiga ini ada unsur pemalsuan karena akte yang dibuat terlebih dahulu harus dibacakan dan dijelaskan maksudnya kepada para pihak. Dan notaris wajib melakukan perfikaikasi formal kebenaran identitas maupun alas hak atas tanah yang menjadi objek pelepasan. Oleh karena itu, ke depan kami akan menempuh jalur hukum pidana di luar perkara pedata ini,” kata dia.
Sementera itu, diketahui Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara VII (SPPN VII) telah mengajukan laporan adanya dugaan pelanggaran yang dilalukan oleh Chairul Anom, SH selaku PPAT di kota Bandar Lampung, yang diduga telah melakukan pelanggaran menggunakan asli dokumen negara berupa peta bidang tanah milik PTPN VII tanpa izin yang digunakan sebagai bukti dipersidangan.
Selain itu, diketahui juga Chairul Anom sebagai PPAT melakukan pelanggaran rangkap jabatan atau profesi yang melanggar ketentuan peraturan Badan Pertanahan Nomor 1 tahun 2006. Berdasarkan hal tersebut SPPN VII telah melayangkan 2 surat pengaduan kepada kepala kantor pertanahan kota Bandar Lampung, namun sampai saat ini belum ada tindaklanjut.
Hal tersebut menimbulkan presiden buruk seolah-seolah melindungi dugaan pelanggaran oknum PPAT tersebut. (*)