Bandarlampung – Korp PMII Putri (Kopri) Lampung, Ana Yunita Pratiwi mensikapi sidang perdana kasus dugaan pelecehan seksual oknum Dosen UIN Raden Intan Lampung, Syaiful Hamali (SH), pada Selasa (23/07).
Korpi PKC PMII Lampung mengapresiasi aparat penegak hukum Kepolisian dan Lembaga Advokasi Anak dan Perempuan (DAMAR) yang telah melakukan upaya pendampingan hukum terhadap korban pelecehan seksual yang merupakan kader PMII Puteri, EP (20).
EP Mahasiswi Fakultas Ushuludin UIN Raden Intan Lampung yang diduga mendapat pelecehan seksual oleh oknum dosen sosiologi, SH.
Namun, kata Ana Yunita Pratiwi yang sangat disayangkan dan membuat geram adalah pernyataan Suhendra
kuasa hukum terdakwa SH yang justru menyudutkan terdakwa dengan mau mencari bukti bahwa apa yang dilakukan pada korban EP itu adalah kebiasaan terdakwa yang biasa dilakukan di depan umum.
“Artinya kuasa hukum sendiri mengiyakan bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa adalah benar dan perbuatan asusila atau genit adalah hal yang lazim dan wajar yang dilakukan oleh laki-laki,” ungkapnya melalui siaran pers, Rabu, 24 Juli 2019.
Ia menambahkan, sangat tampak sekali bahwa kuasa hukum tidak memiliki perspektif sensitive gender, kemudian terkait pernyataan yang menganggap keterangan korban yang dinilai janggal, sebab penyintas mampu berteriak namun tidak dilakukan.
“Pada kasus pelecehan seksual justru situasi tersebut akan dianggap hal yang memalukan (aib) bagi korban bahkan untuk diketahui banyak orang. Maka yang dilakukan adalah bergegas pergi, menangis dan ketakutan. Dalam konstruk patriarki perempuan akan sadar betul, ia akan disalahkan bahkan dicap penggoda yang pada akhirnya tidak semua perempuan berani mengungkapkan bahkan melaporkan,” paparnya.
Keberanian korban kata dia, untuk melaporkan kasus pelecehan justru sebuah prestasi dengan pertimbangan segala resiko yang akan dihadapi termasuk stereotype yang akan dilekatkan.
“Ini akan menjadi pembelajaran institusi pendidikan agar dosen tidak menggunakan ketimpangan relasi kuasanya untuk memberdayakan perempuan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pembentukan tim pencari fakta yang dilakukan oleh kuasa hukum pelaku justru akan menjadi momok yang menakutkan bagi korban dengan melihat perspektif kuasa hukum yang seperti ini bahkan bisa menjadi teror bagi korban.
“Upaya-upaya pelemehan yang dilakukan kuasa hukum terdakwa ini justru yang membuat kami optimis proses hukum akan terus berlangsung dan korban akan memperoleh keadilan seadil-adilnya. Tentunya dengan pengawalan yang akan dilakukan oleh seluruh anggota dan kader PMII sendiri,” ungkapnya.
Sidang Perdana
Kasus dugaan pelecehan seksual yang menyeret oknum Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung (RIL) Syaiful Hamali, mulai disidangkan.
Syaiful yang didakwa mencabuli mahasiswinya berinisial EP menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, Bandar Lampung, Selasa, 23 Juli 2019
Terdakwa yang merupakan warga Jalan Raflesia, Lingkungan I, RT 10, Korpri Jaya, Sukarame, Kota Bandar Lampung itu banyak tertunduk dan menutup wajahnya saat menjalani sidang.
Syaiful dituntut Pasal 290 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Dalam surat dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Maranita, menjelaskan, peristiwa dugaan pencabulan itu bermula pada Jumat, 21 Desember 2018, sekira pukul 13.20 WIB.
Ketika itu, saksi korban, EP hendak mengumpulkan tugas mandiri mata kuliah Sosiologi Agama II.
“Kemudian saksi korban (EP) mengajak rekannya saksi IN untuk menemaninya menemui dosen pengajar mata kuliah tersebut yaitu terdakwa Syaiful Hamali,” ujarnya.
Saat saksi korban bertemu dengan terdakwa (Syaiful) di depan ruang dosen pengajar, saksi korban berkata kepada terdakwa.
“Pak ini saya mau mengumpulkan tugas, karena kemarin pada saat UAS saya keluar duluan, jadi tidak tahu tugas tersebut sudah dikumpul,” kata JPU Maranita mengutip perkataan korban.
Lalu terdakwa masuk ke dalam ruangan dosen dan iikuti korban. Di dalam ruangan tersebut terdakwa berdiri membelakangi meja kerjanya, berhadapan dengan korban yang sedang berdiri.
“Saksi korban kembali berkata kepada terdakwa, maaf pak saya terlambat mengumpulkan tugas, karena waktu UAS saya keluar duluan, jadi tidak tahu tugasnya dikumpul’ sembari menyerahkan tugas tersebut kepada terdakwa,” ungkap JPU Maranita.
Kemudian tugas tersebut dibuka-buka sebentar oleh terdakwa, lalu diletakkan di atas meja kerja terdakwa. Selanjutnya terdakwa mendekati korban sembari memegang lengan kanannya sambil berkata lembut.
“Kebiasaan kamu ya’ lalu saksi korban menjawab ‘ya pak minta maaf’,” kata JPU Maranita menirukan percakapan keduanya.
Saat itu, tangan kanan terdakwa memegang lengan kiri saksi korban sambil dielus-ngelus lalu terdakwa memegang dan mengelus-ngelus dagu saksi korban.
“Sambil berkata ‘Ini apa?’ dijawab saksi korban ‘Jerawat pak’ ,” kata JPU Maranita
Dari perbuatan itu, saksi korban merasa takut sehingga melangkah mundur sambil berkata.
“Bagaimana pak tugas saya diterima apa tidak’ namun terdakwa diam saja tidak menjawab apapun. Mata terdakwa memandangi bibir saksi korban sambil tersenyum, sehingga saksi korban merasa tidak nyaman sambil berkata ‘Ya udah pak makasih saya ijin pulang’. Namun terdakwa kembali memegang kedua lengan saksi korban sambil tersenyum,” urai dia.
Lalu terdakwa memegang bahu kanan korban sambil mengajak ‘jalan’ saksi korban EP menolak.
“Namun terdakwa tetap memegang lengan kiri saksi korban, lalu saksi korban berusaha untuk keluar ruangan. Terdakwa kembali memegang pipi kanan saksi korban kemudian saksi korban berontak,” jelasnya.
Kemudian terdakwa mengarahkan tangannya memegang payudara korban, sehingga saksi korban kaget sambil berteriak ‘Eh pak’ dan terdakwa tersenyum kembali.
Dari kejadian itu, saksi korban bergegas keluar ruangan dan terdakwa segera mengambil tasnya lalu ikut keluar bersama saksi korban,” bebernya.
Setelah di pintu, terdakwa berjalan keluar meninggalkan saksi korban dan berpapasan dengan saksi IN sambil menegurnya lalu pergi.
Akibat perbuatan yang dilakukan terdakwa Syaiful Hamali, menyebabkan saksi korban EP selalu merasa ketakutan dan berkeringat dingin bila akan menghadap dosen.
Nilai mata kuliah Psikologi Sosial yang diambil saksi korban diberikan nilai E oleh dosen tersebut.
Trauma Psikologi
Berdasarkan hasil pemeriksaan psikologis korban EP yang diperiksa Psikolog, Octa Reni Setiawati, kesimpulannya saksi korban EP menunjukkan adanya trauma psikologi terkait pelecehan yang terjadi.
Diketahui, dugaan pelecehan seksual yang melibatkan oknum Dosen Sosiologi UIN Raden Intan Lampung, SH ditengarai bukan hanya satu korban.
Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat UIN Raden Intan Lampung, Dedy Indra Prayoga mengaku dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oknum dosen, SH bukan hanya EP.
“Yang terdeteksi sejauh ini tiga, selain EP. Tapi yang satu belum berani dimintai keterangan,” kata dia, saat dihubungi, Selasa, 22 Januari 2019.
Menurut Dedy, korban lain belum bersedia dimintai keterangan ihwal dugaan pelecehan seksual yang menimpa mereka.
“Sebelumnya sudah ada beberapa korban, tapi belum semua bersedia dilaporkan juga untuk dimintai keterangan. Sejauh ini masih proses untuk mengumpulkan korban-korban sebelumnya,” kata dia.
Menurut Dedy dugaan pelecehan seksual itu dilakukan oknum dosen yang sama (SH)
Pihaknya akan menggelar audiensi dengan Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak DAMAR, ihwal dugaan kasus pelecehan seksual yang dialami kadernya.
“Rencananya kalau DAMAR bisa besok (Rabu, 24 Juli 2019). Soalnya hari ini kami sudah masukkan surat ke DAMAR,” jelasnya.
Diketahui, EP (20) Mahasiswi Fakultas Ushuludin UIN Raden Intan Lampung yang merupakan Ketua Kopri (PMII Puteri) Rayon Ushuludin, diduga mengalami pelecehan seksual oleh dosen sosiologi, SH, dan berbuntut laporan ke Polda Lampung.
Kasus ini mendapat kritik keras dari Senator Lampung, Andi Surya. Namun uniknya, komentar Anggota DPD RI Dapil Lampung ini yang tersebar di berbagai media justru berujung laporan balik.
Pihak UIN Raden Intan Lampung melaporkan mantan anggota DPRD Lampung itu karena dugaan pencemaran nama baik karena menyebut ‘UIN Raden Intan Lampung diduga sarang maksiat’. (*)