Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan satu dari empat orang di dunia terjangkit gangguan jiwa atau neurologis. Saat ini ada sekitar 450 juta orang mengalami gangguan mental. Dan hampir satu juta orang melakukan bunuh diri setiap harinya.
Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, dikombinasi dengan Data Rutin dari Pusdatin, ternyata prevalensi gangguan mental emosional sudah dimulai sejak usia 15 tahun. Gejala-gejala depresi dan kecemasan sudah diidap orang Indonesia sejak usia 15 tahun, dengan prosentase 6% atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.
Sedangkan Komisi Perlindungan Anak menyebutkan tiap tahun angka kekerasan terhadap anak meningkat. Pada 2017, kekerasan terhadap anak mencapai 3.700 kasus. Hampir 70% pelaku kekerasan terhadap anak adalah orangtua anak tersebut. Anak-anak Indonesia rentan terhadap gangguan kejiwaan akibat pengalaman traumatis yang diterima, dampak dari kekerasan anak dilakukan oleh orangtua sendiri. Demikian juga di sekolah atau lingkungan masyarakat, anak-anak rentan menerima perundungan (bullying).
Faktor lain memicu gangguan kesehatan jiwa adalah faktor sosial, meliputi kemiskinan, perang, dan lingkungan. Bencana alam juga berdampak pada kesehatan jiwa masyarakat. Gempa dan tsunami di Aceh menyisakan depresi bagi masyarakat Aceh. Demikian juga gempa di Yogyakarta juga berdampak meningkatnya angka depresi masyarakat di sana. Padahal Indonesia adalah negara dengan tingkat risiko bencana alam cukup tinggi. Mulai dari banjir, longsor, kekeringan, gempa, tsunami dan lainnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan pada tahun-tahun ke depan akan meningkat peristiwa bencana alam akibat perubahan iklim. Artinya akan semakin banyak orang depresi dan terganggu kesehatan jiwa akibat bencana. Penanganan orang dengan gangguan kejiwaan di Indonesia sebagai negara multikultur, berbeda dengan negara-negara lain.
Saat ini, Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa, baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 orang), dan perawat jiwa 6.500 orang (2 per 100.000 orang). Sementara WHO menetapkan standar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1:30 ribu orang, atau 0,03 per 100.000 orang. Ada gap dalam pengobatan untuk pasien dengan gangguan kesehatan jiwa. Ditilik dari segi agama dan budaya, masih ada warga yang dipasung. Meskipun pemerintah Indonesia telah melarang pemasungan pada 1977, kenyataannya (berdasarkan laporan Human Rights Watch Indonesia), masih ada 18.800 orang yang masih dipasung karena dianggap sebagai kutukan atau kerasukan setan.
Paramadina Psychology For People, Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina dan Badan Kesehatan Jiwa Indonesia (Bakeswa Indonesia) menggelar Diskusi Publik mengenai Kesehatan Jiwa dengan tema “From History to the future of Mental Health Care In Indonesia” pada 19 Juli 2018 di Auditorium Nurcholis Madjid, Universitas Paramadina Jl. Gatot Subroto, Jakarta. Diskusi menghadirkan pembicara utama dari Harvard Medical School Prof. Byron J. Good dan DR. Hans Pols, Peneliti dari Sidney University.
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Firmanzah mengatakan, bahwa persoalan kesehatan jiwa di masyarakat Indonesia saat ini perlu diperhatikan karena menyangkut persoalan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Isu kesehatan jiwa manusia tidak bisa diabaikan tenggelam oleh isu infrastruktur, kemiskinan, nilai mata uang, dan perang dagang, Untuk itu diperlukan kerja sama sinergi dengan berbagai pihak termasuk akademisi, organisasi masyakat dan media massa untuk peduli isu kesehatan jiwa. Untuk itu, Universitas Paramadina dan Bakeswa Indonesia konsisten bersinergi mendorong peningkatan kepedulian terhadap isu-isu kesehatan jiwa di masyarakat.
Sugiharto Parikesit, Ketua Umum Bakeswa Indonesia menambahkan, belum terbitnya aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Keswa), dinilai menjadi salah satu penyebab masih rendahnya kepedulian terhadap isu kesehatan jiwa masyarakat Indonesia. Untuk itu, Bakeswa Indonesia akan terus konsisten bersama pihak-pihak terkait memberikan pendampingan tindak lanjut penyusunan peraturan perundangan turunan UU Keswa.
Menurut Dr. Novariyanti Yusuf, SPKJ, Ketua Dewan Pakar Bakeswa Indonesia dan Ketua Perhimpunan Dokter Jiwa Jakarta diamati pada tahun 2018 Kementerian Kesehatan sudah ada dua prioritas RPP menyangkut empat upaya: promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dan PERPRES (menyangkut penyuksesan bebas pasung bekerjasama lintas sektoral sampai level kepala daerah agar stop pelanggaran HAM terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa/ODGJ) walau ini terus menerus tersendat padahal sudah Juli 2018.
Lebih lanjut juga diketahui di Kementerian Sosial sudah ada PR Permensos, pada tingkat pemrov DKI sejak tahun lalu dan sudah hampir rampung raperda (berdasarkan UU Disabilitas 2016), yang mana menurutnya juga masih harus diupayakan mengejar raperda UU Keswa 2014 di DKI Jakarta.
Diskusi publik Universitas Paramadina menampilkan discussant Ghozali, MSi (PhD Candidate), Program Studi Psikologi Universitas Paramadina dan Bapak Sarwono Kusumaatmadja, Dewan Pembina Bakeswa Indonesia-Mantan Menteri Eksplorasi Kelautan Indonesia.
Difasilitasi oleh moderator diskusi menjadi ajang pertukaran pemikiran, ide dan pendapat berbasis akademis antara akademisi dan pemangku kepentingan yang relevan dengan layanan kesehatan jiwa yang ideal di Indonesia, untuk memperoleh masukan informasi dan hasil yang maksimal sesuai dengan tujuan. Diskusi terbuka untuk umum dan dihadiri oleh civitas akademisi Universitas Paramadina, Asosiasi Psikologi Indonesia (HIMPSI), Filantropis dan Tokoh Masyarakat, aktivis mahasiswa, dan media masa.