Foto ist |
Jakarta- Sidang Paripurna DPD RI ke-6 masa sidang ke- II tahun sidang 2018 – 2019 berlangsung di Gedung Nusantara V MPR/DPR RI cukup hangat yang dihadiri sekitar 80% dari seluruh anggota parlemen independen, Senin (12/11/2018).
Sidang paripurna ini beragenda pembukaan masa sidang, pidato pembukaan dan laporan anggota, dipimpin oleh Wakil Ketua DPD RI Nono Sampurno.
Andi Surya, Senator Lampung, memaparkan di hadapan seluruh anggota DPD RI, secara umum Provinsi Lampung masih terbelenggu oleh konflik lahan yang cukup menyebar dan melebar hampir di segala sudut kabupaten kota.
“Laporan yang masuk ke kami, antara lain, lahan register yang telah berubah penggunaannya dari kawasan hutan berproses menjadi desa (rural) bahkan urbanisasi (pengkotaan), tersebar di Kabupaten Lampung Selatan, Mesuji dan Lampung Timur dengan tuntutan agar dilepas menjadi lahan pemukiman untuk rakyat dan disertifikasi,” kata Andi Surya melalui siaran pers.
Kedua kata dia, konflik lahan Groundkaart bantaran kereta api antara warga bantaran yang telah menempati lahan negara rerata lebih dari 50 tahun dengan BUMN PT. KAI, dengan tuntutan sertifikasi.
Ketiga, Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pemprov Lampung di Way Dadi dan HPL Pelindo di Pidada Panjang yang berbuntut tuntutan warga agar HPL dibatalkan, dan keempat, masalah HGU perusahaan-perusahaan privat yang tersebar di Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, Lampung Tengah, Lampung Utara.
“Dengan problem tuntutan ukur ulang karena dianggap telah menyerobot lahan rakyat,” sebut Andi Surya
Mantan Anggota DPRD Lampung ini menguraikan, pertama, konflik lahan ini muncul lebih diakibatkan karena kasadaran rakyat akan hak-hak agraria mereka selama ini terabaikan sehingga di zaman reformasi demokrasi tuntutan tersebut semakin nyaring.
Kedua, kurang tegasnya pemerintah dalam menyikapi persoalan lahan sehingga terjadi akumulasi permasalahan karena minimnya upaya penyelesaian, ketiga, disadari atau pun tidak terjadi sengkarut administrasi pada birokrasi pertanahan bahkan terjadi mal-administrasi yang dibuktikan adanya fenomena tumpang tindih hak-hak kepemilikan lahan sehingga menciptakan ketidakpastian.
“Saya melihat, fenomena ini berkait dengan minimnya keberanian Pemerintah untuk memutuskan perkara konflik yang berkiblat pada kepentingan rakyat, seperti tuntutan sertifikasi hak-hak warga di bantaran rel KA yang tertunda padahal persoalan grondkaart yang digadang-gadang BUMN PT. KAI tidak memiliki dasar hukum dan tidak selaras dengan amanat UUPA 5/1970 dan UUKA 23/2007,” ucapnya Andi Surya
Selanjutnya, Andi Surya menyebutkan langkah-lanhkah yang perlu diambil, perkara lahan register yang telah berproses ruralisasi dan urbanisasi sebaiknya pemerintah segera melepaskan lahan register hutan itu menjadi pemukiman dan disertifikasi untuk rakyat karena faktanya lahan register tersebut telah berubah menjadi hutan manusia yang notabene rakyat Indonesia.
Ketiga, terkait HPL di Bandar Lampung agar pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian ATR/BPN dapat mencabut HPL-HPL yang bermasalah tersebut dan dilepas saja kepada warga karena berdasar kajian ihwal munculnya HPL ini juga memiliki persoalan alas hak. Terakhir, terkait HGU, segera pemerintah dapat melakukan daftar dan ukur ulang batas-batas lahan hak perusahaan privat ini agar tidak mengganggu lahan-lahan hak ulayat.
“Dan adat yang memang merupakan hak dari seluruh masyarakat adat Lampung,” tutup Andi Surya.