Laporan Dugaan Dokumen Palsu Kadisdik Bandar Lampung Diduga Mandeg di Polda

Bandar Lampung – Hampir dua bulan sejak laporan dugaan pemalsuan dokumen kependudukan yang menyeret nama Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung, Eka Afriana, dilayangkan ke Polda Lampung, namun proses hukum terkesan jalan di tempat.

Kasus yang ditangani oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum itu dilaporkan sejak 2 Juni 2025 oleh LSM Trinusa. Hingga kini, penyidik belum juga memeriksa Eka sebagai terlapor. Padahal, laporan telah teregister secara resmi.
dikonfirmasi, Kabid Humas Polda Lampung menyebut kasus ini masih dalam tahap penyelidikan awal. Pernyataan itu mengacu pada keterangan Kasubdit III Jatanras Ditreskrimum Polda Lampung, AKBP Zaldy.

“Masih tahap penyelidikan,” ujar Kabid Humas singkat.

Terpisah, Kompol Zaldi Kurniawan selaku Kasubdit III Jatanras mengatakan, bahwa proses penyelidikan masih berjalan. Ia mengakui beberapa saksi telah dipanggil, namun banyak yang belum hadir memenuhi undangan.

“Proses penyelidikan masih. Untuk saksi-saksi kemarin sudah kita undang, tapi banyak yang belum hadir. Direncanakan akan diundang lagi,” ujar Zaldi saat dikonfirmasi.

Zaldi juga menjelaskan bahwa pihaknya telah memeriksa pelapor serta perwakilan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), meski yang hadir baru staf dari instansi tersebut.

“Pelapor dan capil sudah diperiksa, tetapi stafnya saja yang datang,” tambahnya.

Sementara itu, untuk pihak terlapor, yakni Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung, Eka Afriana, hingga saat ini belum dipanggil untuk diperiksa.

“Kalau terlapor, Kadis Pendidikan, memang belum dipanggil,” tegas Zaldi seperti dilansir matapena.co.

Aroma Kejanggalan Makin Kuat

Skandal ini menyeret nama Eka Afriana yang disebut-sebut sebagai “saudari kembar” Walikota Bandar Lampung, Eva Dwiana.

Namun publik mulai mencium kejanggalan setelah ditemukan perbedaan tanggal lahir antara keduanya. Eva lahir pada 25 April 1970, sementara Eka tercatat lahir pada 25 April 1973—selisih tiga tahun tapi diklaim kembar? Ini bukan lagi persoalan salah ketik, melainkan dugaan serius rekayasa identitas.

Sayangnya, hingga kini belum terlihat adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum. Yang diperiksa baru staf Disdukcapil. Eka Afriana sendiri belum tersentuh proses hukum.

Padahal, bukti awal sudah cukup terbuka dan laporan sudah resmi teregistrasi. Namun yang diperiksa baru anak buah, sementara pejabat utamanya belum dipanggil. Pertanyaannya: apakah ini bagian dari perlindungan terselubung terhadap pejabat tertentu? Atau justru ada tekanan politik di balik lambannya penanganan kasus?

Jika Polda Lampung tak segera memanggil dan memeriksa Eka Afriana, wajar jika publik mempertanyakan independensi aparat hukum. Jangan sampai penegakan hukum di Lampung kembali menunjukkan wajah lama tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Skandal ini bisa menjadi batu uji integritas institusi penegak hukum di daerah. Bila tak ditindak serius, maka muncul pertanyaan mendasar: siapa sebenarnya yang sedang dilindungi?

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Kota Bandar Lampung, Eka Afriana, memilih bungkam dan menghindar saat dikonfirmasi soal dugaan pemalsuan dokumen kependudukan yang digunakan untuk pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Saudara kembar Walikota Bandar Lampung, Eva Dwiana dilaporkan elemen atas tuduhan memalsukan data pribadi untuk kepentingan pribadi.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) TRINUSA, melalui Sekretaris Jenderalnya, Faqih Fakhrozi, resmi melaporkan Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung Eka Afriana ke Kepolisian Daerah (Polda) Lampung atas dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen dan data pribadi, Senin 2 Juni 2025.

Faqih didampingi kuasa hukumnya dari LBH Masa Perubahan, Muhammad Latief, S.H dan Busroni.

Dalam keterangannya, Latief menjelaskan bahwa dugaan pemalsuan tersebut berkaitan erat dengan pengangkatan Eka Afriana sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 2008.

Dokumen-dokumen penting seperti akta kelahiran, ijazah, KTP, dan Kartu Keluarga (KK) disebut telah direkayasa.

Perubahan paling mencolok ditemukan pada data tanggal lahir: dari 25 April 1970 menjadi 25 April 1973.

Tujuannya diduga untuk mengakali batas usia maksimal pendaftaran CPNS yang saat itu dibatasi hingga 35 tahun. Berdasarkan data asli, terlapor kala itu telah berusia 38 tahun.

“Atas tindakan tersebut, terlapor patut diduga melanggar Pasal 263, 264, dan 266 KUHP tentang pemalsuan dokumen,” tegas Latief.

Latief menambahkan bahwa pelanggaran ini bukan sekadar administratif, tapi masuk ranah pidana serius yang mencoreng integritas birokrasi negara.

Latief menilai, kasus ini bisa menjadi preseden buruk bila dibiarkan.

“Kami tidak sekadar membela pelapor. Kami membela kepentingan publik. Bila aparatur bisa lolos dengan cara-cara curang seperti ini, maka yang dirusak bukan hanya sistem hukum, tapi juga kepercayaan rakyat terhadap negara,” ujarnya.(net/ndi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *