KIM Dilaporkan ke Polda Lampung Karena Tahan Ijazah, Tim Legal Diduga Alihkan Isu

Bandar Lampung – Manajemen Karang Indah Mall (KIM) akhirnya angkat suara terkait dugaan penahanan ijazah karyawan oleh perusahaan.

Namun, konferensi pers yang digelar pada Selasa (8/7/2025) justru menuai kritik keras lantaran dinilai mengalihkan isu utama dari dugaan pelanggaran ketenagakerjaan dan perlindungan konsumen menjadi isu dugaan moral pribadi.

Dalam pernyataannya, tim legal KIM menyebut bahwa keributan bermula dari pengunduran diri dua karyawan yang disebut melakukan perbuatan asusila di area kantor. Tim hukum yang terdiri dari A Rilo Budiman, SH, MH; M. Abyan Zhafran, SH, MH; dan Muhammad Axel F, SH, MH menjelaskan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada jam kerja dan dinilai bertentangan dengan nilai-nilai perusahaan.

“Apa yang dilakukan dua karyawan itu adalah pelanggaran moral dan tak bisa ditolerir. Mereka sendiri yang mengundurkan diri,” ujar Rilo dalam konferensi pers di KIM, Jl. Radin Intan, Bandar Lampung.
Namun, pernyataan tersebut dikritik berbagai pihak karena tidak menjawab akar persoalan, yakni dugaan penahanan puluhan ijazah milik karyawan dan penggajian di bawah UMR yang telah dilaporkan secara resmi ke Polda Lampung dan Dinas Ketenagakerjaan Kota Bandar Lampung.

Ketua LBH Ansor Lampung, Sarhani, menegaskan bahwa narasi asusila yang dibuka dalam konferensi pers hanyalah bentuk pengalihan perhatian publik dari persoalan hukum yang sebenarnya.

“Kami tidak pernah melaporkan perbuatan asusila. Fokus kami adalah membela hak para pekerja yang ijazahnya ditahan, gajinya dipotong, dan dipaksa membayar tebusan. Apa urusannya itu dengan isu moral?,” tegas Sarhani seperti dilansir Jelajah.co, Selasa malam (08/07/2025).

Sarhani menjelaskan, pihaknya kini mendampingi 10 orang korban, dari total puluhan eks karyawan yang mengaku mengalami penahanan ijazah oleh pihak manajemen KIM dan Mall Kartini.

“Ini bukan soal dua orang. Ini soal sistem dan keadilan bagi puluhan pekerja yang merasa ditindas,” ungkapnya.

Janji Mediasi Dilanggar, Uang Tebusan Tak Masuk Akal

Salah satu korban, Ajid, mengaku telah mengikuti proses mediasi resmi di Disnaker Kota Bandar Lampung. Dalam pertemuan tersebut, pihak KIM menyepakati bahwa ia hanya perlu membayar biaya administrasi sebesar Rp500 ribu untuk pengganti keperluan training.

Namun, saat ia datang ke kantor KIM untuk menebus ijazahnya, pihak perusahaan justru meminta Rp4,5 juta, dengan dalih audit dan pengganti kerugian.

“Saya merasa dipermainkan. Padahal sudah ada kesepakatan tertulis, tapi mereka tiba-tiba ubah angka seenaknya,” kata Ajid.

Selain penahanan ijazah, banyak mantan karyawan mengaku digaji di bawah UMR Bandar Lampung tahun 2025 yang sebesar Rp2.903.289. Mereka hanya menerima antara Rp1,9 juta hingga Rp2,4 juta per bulan, praktik yang jelas bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan berpotensi dikenai sanksi administratif hingga pidana.

Selain itu, ada bukti berupa chat internal manajemen KIM yang memerintahkan penarikan produk mie tanpa label halal. Namun, dalam percakapan tersebut disebutkan bahwa produk lain seperti minuman dan snack tetap dijual, meskipun belum ada penjelasan soal status kehalalannya.

“Jika mereka baru menarik produk setelah kasus ini mencuat, itu artinya sistem pengawasan internal mereka lemah atau bahkan tak ada,” tegas Sarhani.

“Publik ingin tahu, mengapa ijazah ditahan, mengapa gaji di bawah UMR, mengapa produk yang tidak berlabel halal tetap dijual, bukan tentang dua orang yang disebut melakukan pelanggaran moral,” tutup Sarhani.

Diketahui, KIM telah dilaporkan ke Polda Lampung atas dugaan penahanan ijazah dan permintaan biaya tebusan yang memberatkan mantan karyawannya. Laporan resmi ini dilayangkan pada 23 Juni 2025 oleh seorang mantan karyawan berinisial A, didampingi oleh kuasa hukumnya dari LBH Ansor Lampung, dan terdaftar dengan Nomor LP/B/427/VI/2025/SPKT/POLDA LAMPUNG.

Mantan karyawan KIM mengungkapkan bahwa dirinya diminta membayar Rp4,5 juta untuk menebus ijazahnya setelah mengundurkan diri. “Jumlah tersebut dihitung berdasarkan masa kerjanya selama sembilan bulan, dengan tarif Rp500 ribu per bulan. Padahal tidak ada perjanjian tertulis mengenai denda atau biaya tebus ijazah selama ia bekerja di KIM,” tutupnya. (Ndi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *