HERMAN Batin Mangku (HBM) adalah tokoh jurnalis senior jebolan SKH Lampung Post yang pada jamannya menciptakan karikatur Pak Ho dan Pak De. Beliau sudah malang-melintang di dunia Jurnalistik, bahkan menjadi tokoh dari organisasi kewartawanan siber.
Banyak di antara kita hanya mengenal pada wilayah jurnalis saja; namun pria didikan Bambang Ekawijaya (alm) ini memiliki segudang keanggotaan organisasi, sampai penggemar mobil tua dan masih banyak lagi.
Penulis tidak begitu mengenal secara pribadi HBM; namun sering membaca pikiran-pikirannya melalui tulisan yang disampaikan di media, dan banyak hal yang bisa diperoleh tentang pikiran-pikirannya.
Tulisan ini sengaja hanya dari satu segmen saja yang dijadikan pintu masuk untuk “menguliti” HBM, yaitu dari pemahamannya tentang pendidikan, berdasarkan kepedulian, perhatian, dan puncaknya kegelisahan HBM saat diskusi Pendidikan Lampung Emas di Sekretariat DPD RI Lampung di Kota Bandarlampung, Rabu (18/10/2023).
Pemikiran cerdas beliau pada pendidikan tidak hanya sebatas konsep di awang-awang dan tidak juga mengikuti pemikiran mainstream yang ada. HBM selalu melihat masalah dari multi sudut (ini yang tidak banyak dimiliki oleh wartawan lain); sehingga analisis masalahnya jadi sangat komplit, walaupun harus menuai masalah bagi orang lain, khususnya penguasa.
Tidak jarang menjadi “tumbal” untuk dituding-tuding oleh penguasa, karena membaca reportasenya.
Satu contoh beliau paling getol untuk memburu persoalan agar dapat dilihat penyelesaiannya seperti apa.
Misal dua kasus terakhir dimana ada dua anak usia sekolah dasar yang tersandung masalah pindah tempat tinggal, miskin pula; HBM mengawal persoalan itu dengan caranya.
Tentu saja banyak pejabat yang kebakaran jenggot, namun atas keyakinan beliau, persoalan itu dikawal sampai final. Terakhir ada berita beliau dimohon untuk bertemu dengan seorang pejabat di kantornya. Dengan ringan, beliau menjawab “saya bukan anak buahnya”.
Tentu maksud jawaban ini sangat dalam artinya bagi yang menguasai komunikaasi rasa.
Begitu juga saat HBM mengawal kasus korupsi yang dilakukan oleh pimpinan perguruan tinggi negeri daerah ini. Beliau merasa sangat terpukul karena marwah lembaga yang selama ini beliau banggakan menjadi porak-poranda.
Dengan tertatih-tatih, beliau mengawal kasus ini sampai tuntas, dengan satu pesan “cukup sekali untuk tidak terulang lagi”. Sementara orang kampus yang beliau bela tidak pernah berfikir seperti yang beliau fikirkan.
Demikian juga saat beliau mengawal penyimpangan moral yang dilakukan oleh seorang tenaga pengajar di perguruan tinggi negeri keagamaan, beliau dengan marah dalam tulisan, menambal marwah lembaga yang koyak tadi dengan caranya.
Saat banyak orang teriak “peduli wong cilik”; HBM sudah mendahului beberapa langkah di depan sana membela wong cilik. Untuk ini tidak segan-segan beliau melakukan blusukan ke kantong-kantong urban, guna lebih dekat mendengarkan suara rintihan mereka.
Terutama saat penerimaan murid baru, pembagian Bansos, Program Bedah Rumah; dan masih banyak lagi yang HBM cermati. Lagi-lagi masalah pendidikan menjadi konsentrasi utama baginya dalam membantu mereka yang kurang beruntung.
Puncaknya saat diskusi pendidikan beberapa hari lalu, beliau “membantalkan” pendapat Hery Wardoyo yang saat itu menjadi moderat, guna meneguhkan pendapatnya bahwa pendidikan di Lampung sedang tidak baik-baik saja.
Data dan fakta beliau bentang bagaimana orang miskin selalu menjadi korban dari kebijakan pendidikan. Beliau seolah-olah sedang memaparkan Teori Pramidal Manusia dari Gunnar Myrdal.
Walaupun saat laporan kegiatan itu ditulis dan disebarkan ke kampus ternama di daerah ini, dengan ringan seorang Guru Besar mengomentari “tidak ada apa-apanya semua itu dan ayo urus Merdeka Belajar saja”.
Inilah kalau Guru Besar yang hanya beranjak dari kursi kelaboratorium, terus ke kelas. Tidak pernah melihat, menyelami, dan merasakan apa yang sedang terjadi di tengah masyarakat.
Pandangan boleh berbeda, namun menghormati pandangan yang berbeda, itu jauh lebih mulia dari pada berkomentar tanpa mengetahui makna. Karena betapa banyaknya pikiran-pikiran sealiran HBM ini yang keluar dari “pakem”.
Namun, di sana justru kekhasan dari seseorang yang tidak jarang orang hanya pandai terbelalak, kemudian membenci dan menjauh. Padahal, yang namanya obat, apalagi jamu, itu rata-rata pahit, tetapi menyehatkan.
Pemikiran HBM tentang pendidikan memang tampak sekilas sederhana, namun jika didalami, dirasakan, dicermati dengan hati; maka gemuruhnya gelombak pemberontakan akan ketidakadilan dalam pelayanan pendidikan, terasa sekali resonansinya.
Gaya yang khas dari tulisannya, sangat kental akan dorongan tersebut, namun karena menggunakan bahasa yang lugas, jadi mereka yang kurang piknik membaca, tidak mampu menangkap esensinya.
Ada satu lagi kepiawaian HBM, yaitu dalam mengedit artikel, memberi judul; seolah memberikan “nyawa” akan tulisan yang ditanganinya. Beberapa kali artikel penulis begitu diberi mahkota oleh beliau, menjadi seolah-olah bergerak melesat kecakrawala imaginer.
Demikian juga saat tulisan diedit HBM, maka bisa dipastikan pilihan-pilihan diksi sebagai pengganti, atau sisipan yang dilakukan, akan memberi darah segar pada kalimat yang dibentangkan; apalagi jika artikel itu berhubungan dengan pendidikan, maka menjadikan tulisan tadi hidup dan lebih hidup.
Selamat berjuang HBM dalam alam idea, nyanyi sunyi seorang jurnalis yang sering membawa angan menuju nirwana, selalu kau bawa kemanapun kau pergi. Tabik.
Oleh Prof. Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung