PESAWARAN— Aksi pendudukan lahan Afdeling II PTPN VII Unit Way Berulu oleh oknum yang mengatas namakan warga Desa Tamansari masih berlangsung. Sampai Rabu (19/7/23), oknum-oknum yang sesungguhnya bukan dari Desa Tamansari masih tampak menjaga portal yang dipasang dan mengusir setiap karyawan yang akan bekerja sebagai penyadap karet.
Kondisi ini memicu protes warga sekitar.
Keluhan juga disampaikan beberapa anak karyawan yang tergabung dalam FKPPIB, wadah aspirasi karyawan BUMN Ranting Waylima kepada pengurus FKPPIB di Bandar Lampung, Selasa (18/7/23). Mereka menyatakan protes dan meminta aparat hukum dan elemen terkait menindak oknum-oknum tersebut dan memberi rasa aman kepada warga Desa Tamansari.
“Kami merasakan sendiri bagaimana aktivitas warga desa, terutama yang berdekatan dengan lokasi kebun yang diblokir itu sangat terganggu. Orang tua kami nggak bisa kerja. Warga lain yang bukan karyawan tapi tinggal di lingkungan itu juga resah dan takut. Mereka terlihat serem-serem orangnya,” kata salah satu anak karyawan PTPN VII asal Dusun Bangunrejo yang tak berani disebut namanya.
Ia menambahkan, setiap hari orang-orang yang datang dan menunggu portal berganti-ganti. Warga sekitar juga tidak mengenali orang-orang yang keluar masuk tanpa permisi itu. Hal itu membuat warga merasa terganggu dan curiga dengan hadirnya orang-orang asing yang masuk desanya.
Selain merasa takut, dia juga menerima banyak keluhan warga yang tak lagi mendapat pelayanan administrasi desa dengan baik. Untuk mengurus surat-surat dari desa, semisal surat keterangan tidak mampu atau surat rekomendasi lainnya, banyak warga yang terpaksa menunda.
“Banyak yang mengeluh kalau mau urusan dengan Pak Kades. Ditemui di kantor tidak ada, ditemui di rumahnya, sering tidak ketemu. Kami warga jadi kayak nggak punya perangkat desa,” tambah dia.
Namun demikian, meskipun rasa takut dan kecewa sudah memuncak, warga masih memilih diam dan mengalah. Sebab, kata dia, warga juga takut jika melakukan protes secara sendiri-sendiri.
“Ya, paling kami hanya bisa mengeluh. Sebab, mau protes sendiri juga nggak berani. Nggak tahu nanti kalau rame-rame. Yang jelas, kami minta aparat terkait memberi perhatian soal ini. Dan yang lebih penting lagi, masyarakat Desa Tamansari butuh advokasi, harus dibela dan dilindungi,” kata dia.
Sementara itu, Alviano Santana, Ketua Harian FKPPIB mengaku ikut prihatin dengan kondisi ini. Ia juga mendesak pihak Kepolisian dan aparat lainnya untuk menindak oknum-oknum yang telah terbukti merusak tatanan dan kedamaian warga desa yang tidak bersalah.
“Seberapapun rumitnya masalah ini, seharusnya ada jalan keluar. Jangan dibiarkan menjadi status quo seperti sekarang ini. Sebab, jika tidak tertangani secara baik akan bisa menjadi preseden buruk di kemudian hari. Masyarakat juga ada batas sabarnya. Kalau nanti terjadi gesekan dan benturan, siapa yang disalahkan,” kata mahasiswa Itera ini.
Vino, sapaan akrabnya mengatakan, kasus upaya penyerobotan tanah PTPN VII Unit Wayberulu ini sudah menjadi tema beberapa kali diskusi tingkat nasional. Beberapa hasil diskusi FKKPIB juga sudah disampaikan kepada parapihak di level nasional. Bahkan, beberapa lembaga tinggi yang dikirimi rekomendasi hasil diskusi juga sudah memberi respons.
“Setiap diskusi kami rangkum rekomendasinya dan kami laporkan ke lembaga-lembaga tinggi negara. Dari ke Sekretariat Presiden, KPK, Kapolri, Panglima TNI, Kementerian ATR-BPN, Kementerian BUMN, dan instansi terkait di tingkat Provinsi dan kabupaten,” kata dia.
Meskipun demikian, Vino mengingatkan kepada warga Tamansari untuk tidak melakukan aksi-aksi yang melanggar hukum. Ia percaya parapihak akan memberi solusi yang baik dalam menangani perkara ini.
“Kami yakin parapihak akan berlaku arif bijaksana. Terutama pihak Kepolisian, apalagi Kapolres Pesawaran masih baru.
Mudah-mudahan segera memberi atensi kepada masalah ini. Kita semua ingin damai, tidak ada premanisme, tidak ada teror yang membuat tatanan kehidupan warga terganggu,” kata dia.
Dalam diskusi FKPPIB kemarin juga sampai membahas soal layanan masyarakat yang seharusnya dijalankan seorang kepala desa.
Ketua Bidang Hukum dan HAM FKPPIB Sholicul Anwari mengutip Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang mengatur tentang tupoksi seorang kepala Desa. Padapasal 29 berisikan kepala desa dilarang butir (a) mengganggu kepentingan umum; butir (e) melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa. dan butir (l) meninggalkan tugas selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Dan sanksi atas pelanggaran pada pasal 29, tertuang dalam pasal 30 Pasal 30 ayat (1) Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. Pada ayat (2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
“Dalam konteks ini, sebenarnya ada pasal-pasal yang sudah dilanggar Kades Tamansari. Jadi, sebaiknya jangan sampai sesuatu terjadi, lah. Kalau bisa diselesaikan secara baik-baik,” kata dia. (*)