Tindakan aksi penyerangan dan Kekerasan yang dilakukan oknum anggota TNI kembali lagi terjadi di Jeneponto, Sulawesi Selatan pada Rabu dini hari (26/4). Tindakan ini terjadi secara berturut-turut setelah sebelumnya terjadi di Kupang, NTT seminggu sebelumnya pada Rabu (19/4). Selain itu, terdapat video yang beredar di media sosial yang dilakukan oknum TNI yakni seorang perwira tinggi yang menyampaikan pernyataan tidak sepantasnya yakni memerintahkan melakukan sweeping pascakejadian Kupang.
Kami menilai tindakan serangan dan kekeraaan terhadap tempat tertentu yang mengakibatkan situasi dan kondisi tidak aman seperti yang terjadi di Kupang dan Jeneponto adalah hal yg memprihatinkan. Rasa aman masyarakat terganggu dan terancam oleh kondisi yang terjadi. Oleh karena itu, serangan dan kekerasan itu tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber media, serangan dan kekerasan itu ditujukkan pada fasilitas milik kepolisian yang diduga kuat dilakukan oleh oknum anggota TNI.
Serangan oleh oknum anggota TNI terhadap fasilitas kepolisian bukanlah kasus yang pertama terjadi. Beberapa kasus konflik TNI dan Polri telah terjadi beberapa kali di masa Reformasi ini.
Penyerangan disertai pengrusakan dan kekerasan yang terjadi di Kupang dan Jeneponti oleh siapapun tidak bisa dibenarkan secara hukum. Tindakan kekerasan itu adalah bentuk pelanggaran hukum yang melawan prinsip-prinsip negara hukum.
Kami menilai semua pihak yang melakukan serangan dan kekerasan harus dihukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa memandang siapa mereka dan dari institusi mana mereka. Penghukuman secara benar terhadap mereka menjadi penting untuk memastikan bahwa keadilan di negeri ini masih ada. Tidak boleh ada warga negara yang kebal hukum (impunitas). Sebaliknya, karena mereka adalah bagian dari aparat negara maka seharusnya hukuman yang ditimpakan justru harus lebih berat. Penghukuman terhadapa mereka seharusnya melalui mekanisme peradilan umum.
Jika memang benar mereka yang melakukan kekerasan adalah oknum anggota TNI maka sebaiknya mereka diproses hukum yang adil dan benar. Proses hukum terhadap kasus serangan oknum TNI selama ini masih berlindung dalam mekanisme peradilan militer yang cenderung tidak maksimal dalam memberikan penghukumannya, akibatnya putusan kasus-kasus sebelumnya tidak menimbulkan efek jera. Dalam konteks itu, menjadi penting agar pemimpin sipil untuk melakukan reformasi peradilan militer guna menegaskan bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum yaitu dengan memastikan siapapun orang ketika terlibat pelanggaran hukum maka wajib diproses hukum dalam peradilan yang sama seperti warga negara lain melalui peradilan umum.
Kami memandang, terjadinya kasus di Kupang dan Jeneponto menunjukkan masih adanya kultur militeristik yang belum hilang. Budaya penghormatan atas negara hukum belum sepenuhnya dijalankan dan dipatuhi. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan kualitas sistem pendidikan yang mengajarkan kepatuhan dan penghormatan terhadap sistem hukum dan negara hukum itu sendiri.
Pemahaman _esprit de corps_ yang keliru seringkali juga menjadi penyebab terjadinya kasus-kasus penyerangan dan kekerasan. Semangat itu semestinya hadir dalam medan peperangan ketika menghadapi musuh dari luar negeri yang berbentuk ancaman militer dan bukan justru untuk melakukan serangan dan kekerasan terhadap alat/ lembaga negara. Oleh karena itu, pimpinan TNI maupun Polri perlu membangun pemahaman jiwa korsa yang tepat kepada anggota mereka dan memberikan pemahaman lebih serius tentang pentingnya penghormatan atas hukum di dalam negara hukum. Semua bentuk ketidakpuasan atas proses hukum dapat disampaikan pada komisi-komisi independen seperti Kompolnas dan Komnas HAM.
Kami juga menilai, berangkat dari terus berulangnya peristiwa serupa, maka diperlukan adanya pengawasan yang kuat dalam mengontrol pergerakan anggota di dalam tubuh TNI mauoun Polri. Selain itu, DPR juga perlu melakukan pengawasan yang serius sehingga segala kesalahan dan pelanggaran hukum yang dilakukan benar benar dapat dihukum secara adil. DPR perlu melakukan pengawasan secara serius untuk mengatasi soal ini.
Mencermati hal itu, kami mendesak:
1. Presiden segera memerintahkan KASAD dan Panglima TNI untuk memastikan tidak ada lagi tindakan penyerangan dan kekerasan yang dilakukan oknum anggota TNI terhadap fasilitas apapun.
2. Semua pihak, khususnya aparat keamanan untuk memastikan rasa aman masyarakat dan menjaga situasi yang kondusif di semua tempat.
3. Semua pelaku yang terlibat dalam tindakan penyerangan dan kekerasan diproses hukum dalam peradilan yang independen dan adil.
4. Presiden dan DPR segera melanjutkan dan merealisasikan agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 Tahun 1997.
5. DPR melakukan fungsi pengawasan yang efektif untuk memastikan proses hukum berjalan dengan benar dan adil, serta fungsi kontrol sipil yang demokratis.
Jakarta, 27 April 2023
Narahubung:
1. Muhamad Hafidz : Direktur Eksekutif Centra Initiative (081282958035)
2. Julius Ibrani: Ketua PBHI Nasional (081314969726)
3. Ghufron Mabruri: Direktur Imparsial (081575434186)
4. Al Araf : Ketua Badan Pengurus Centra Initiative (081381694847). (Press release)