Bandarlampung – Sidang perkara kasus penipuan dan penggelapan terhadap saksi korban Sugiarto Hadi yang mengalami kerugian uang sebesar Rp 17 miliar kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Karang, Bandar Lampung (19/7/21).
Kuasa Hukum terdakwa Djoko Soedibyo, Indra Jaya SH CIL mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam eksepsi Indra mengatakan jika perkara yang menimpa kliennya jelas menunjukan kriminalisasi dan pemaksaan suatu perkara terhadap terdakwa Djoko Soedibyo.
“Menurut kami banyak indikasi permainan dari pihak Sugiharto, dkk dengan menghalalkan segala cara guna memuluskan perkara ini bisa agar bisa P21,” tutur Indra usai menjalani sidang yang digelar di PN Tanjungkarang.
Indra juga menyatakan surat dakwaan JPU terhadap terdakwa tidak memperhatikan tentang kewenangan relatif dari pengadilan. Terhadap apa yang telah dilakukan terdakwa adalah murni merupakan wilayah Hukum Perdata karena adanya perjanjian antara Terdawa dan Saksi Korban Sugiarto Hadi yang dituangkan dalam Surat Kesepakatan Kerjasama Pengadaan Pupuk di Pertanian dan Perkebunan yang dibuat dan ditandatangani oleh dan diantara keduanya pada tanggal 29 September 2010.
“Dalam Perjanjian tersebut telah menempatkan Terdakwa sebagai pelaksana pekerjaan dan Saksi Korban Sugiarto Hadi sebagai pemberi pekerjaan,” ucap Indra Jaya.
Indra menjelaskan, faktanya saksi Sugiarto Hadi yang melakukan wanprestasi yang tidak melakukan kewajibannya membayar Fee sesuai dengan surat Kesepakatan tertanggal 29 September 2010. Kemudian pihak Saksi Sugiarto Hadi juga tidak memberikan laporan hasil penjualan kepada Terdakwa sehingga Terdakwa sudah beberapa kali meminta Fee kepada saksi Korban untuk memenuhi Kewajibanya baik melalui surat Tertulis maupun melalui telpon/SMS (bukti terlampir).
“Hal ini juga diperkuat lagi dengan adanya gugatan perdata yang diajukan oleh Terdakwa terhadap saksi Korban di Pengadilan Negeri Tanjung Karang pada 20 September 2018 dengan perkara Nomor 169/Pdt.G/2018/PN.TJK yang dilanjutkan gugatan Kedua di Pengadilan Negeri Tanjung Karang nomor perkara nomor : 189/PDT.G/2019/PN.TJK tertanggal 20 September 2019 yang perkaranya saat ini masih berjalan,” kata Indra.
Indra juga menyebut ada kejanggalan penerapan hukup pidana dalam surat dakwaan yang ditujukan kepada kliennya.
Ia menambahkan jika melihat dakwaan JPU dengan adanya dugaan tindak pidana di mulai pada tahun 2011 maka hal ini menjadi aneh karena untuk delik aduan, pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia sesuai Pasal 74 ayat [1] KUHP.
“Bahwa jika di lihat dari dugaan saksi Sugiarto Hadi adanya kejahatan pada tahun 2012 maka delik aduan tersebut hanya boleh ajukan dalam waktu enam bulan sejak orang tersebut yang berhak mengadukan mengetahui adanya kejahatan. Tetapi saksi korban baru pengajukan adanya dugaan kejahatan yang dilakukan oleh Terdakwa pada tahun 2018 dengan laporan polisi nomor: LP/B-71/I/2018/SPKT tanggl 15 Januari 2018 dengan laporan Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 278 KUHP dan pasal 372 KUHP,” paparnya.
Saksi Sugiarto Hadi, sambung Indra, memberi kuasa kepada ibunya baru melaporkan setelah 6 (enam) tahun kemudian setelah adanya dugaan kejahatan yang diduga dilakukan oleh terdakwa.
“Hal ini menjadi aneh dan janggal sebelum melaporkan adanya dugaan pidana yang merugikan saksi Korban masih meminta bantuan Terdakwa untuk menagih ke pada beberapa orang seperti kepada sdr. Irawan Noto di Medan dan sdr. Rere di Jakarta dan Sdr. Supriyadi di Lampung dengan janji apabila berhasil ditagih silahkan Terdakwa mengambil uang sebagai fee kepada terdakwa dan sebagian kecil saja untuk saksi Sugiarto Hadi,” terang Indra panjang lebar.
Selain itu, Indra menilai surat dakwaan yang disampaikan JPU tidak lengkap karena tidak memenuhi syarat formil maupun materiil karena jika ditinjau dari sudut pasal 143 ayat (2) KUHAP yang menuntut bahwa surat dakwaan harus jelas, cermat, dan lengkap memuat semua unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, maka terlihat bahwa dakwaan JPU masih belum memenuhi persyaratan yang dimaksud oleh Undang-undang tersebut baik dari segi formil maupun dari segi materilnya.
“Pasal 143 ayat (3) huruf b KUHAP secara tegas menyebutkan bahwa tidak dipenuhinya syarat-syarat materil ; surat dakwaan menjadi batal demi hukum atau “null and void” yang berarti sejak semula tidak ada tindak pidana seperti yang dilukiskan dalam surat dakwaan itu,” kata Indra Jaya.
Bahkan lanjut Indra, ada dugaan konspirasi yang sangat kuat/kental antara saksi korban Sugiarto hadi, dengan saksi Yeni Setiawati dalam usaha untuk menjerumuskan/menjebak Terdakwa dalam permasalahan hukum sekarang ini, konspirasi hal ini semakin nyata karena tidak dijadikannya saksi Beni Hutagalung sebagai terdakwa dalam perkara a quo,
Karena semua masalah pajak yang menyelesaikan adalah Beni Hutagalung karena Beni Hutagalung merupakan orang BPKP yang mempunyai kedekatan dengan orang-orang di Kantor Pajak pusat maupun daerah. Hal ini sengaja dilakukan oleh JPU untuk membuktikan dakwaannya, sehingga terbukti bahwa klaim JPU yang menyatakan dalam surat dakwaanya yang menyatakan Nota Dinas yang dikatakan Palsu apakah sudah dilakukan Labkrim dan tidak mendalami dari mana Nota Dinas itu didapat.
Diketahui, Djoko Soedibyo warga Jalan Raden Saleh nomor 17. RT 001, RW 002, Kelurahan Kenari, Senen Kota, Jakarta Pusat ini pada akhir tahun 2021 sampai akhir 2012 di Bandar Lampung diduga kuat telah menggelapkan uang milik Sugiharto Hadi, sebesar Rp17 M, kemudian dilaporkan oleh Yeni Setiawati berdasarkan LP/B-71/1/2018 SPKT 15 Januari 2018, Djoko Soedibyo dikenai pasal 378 KUHP atau pasal 372 KUHP. (Andi)