Dari Kurup, Perekonomian Warga Pasarpino Hidup

BENGKULU—Dana kemitraan PTPN VII kepada para pengrajin batu bata membuat geliat ekonomi warga menggeliat.

Menyelinap dari Jalan Raya Pinoraya ke jalan Desa Pasarpino, Bengkulu Selatan, asap mengepul dari beberapa lokasi. Aroma tanah terbakar menyeruak seperti menyambut orang yang masuk desa. Di kanan-kiri jalan, gubuk-gubuk sederhana dengan deretan batu bata di sekitarnya menjadi penanda khas kampung ini. Tak jauh dari sana, tanah-tanah berlubang tak teratur setelah dikeruk dan dicetak menjadi batu bata.
Sekitar 80 kepala keluarga di desa ini menjadikan bahan utama konstruksi rumah gedung itu sebagai mata pencaharian utama. Hampir setiap rumah memiliki kurup, sebutan untuk tungku pembakar batu bata. Dan hampir semua orang anggota keluarga di desa ini mahir mengerjakan proses pembuatan batu bata, termasuk para istri dan anak-anak mereka.
Dikenal sebagai daerah penghasil batu bata sejak zaman sangat lama, Desa Pasarpino adalah rujukan bagi orang yang akan membuat bangunan permanen. Meski sudah sangat terkenal dan lampau, pengrajin batu bata di sini tetap mempertahankan cara tradisional.
Menggali tanah sebagai bahan baku batu bata dari tanah milik sendiri, mereka berjibaku menyadap berkah rezeki Tuhan. Pilihannya berlasan, karena selain tekstur tanah liat yang dicetak menjadi batu batanya bagus, persediaannya juga sangat melimpah. Ini berbeda dengan tempat lain yang pada umumnya harus berpindah tempat karena bahan baku habis.
“Kalau di sini tanahnya bisa dikeduk sampai lebih dari 2,5 meter dalamnya untuk dibikin bata. Jadi, nggak ada masalah dengan bahan baku,” kata Suha, salah satu pengrajin.
Meskipun terlihat sederhana, tetapi tidak dengan proyeksi mereka untuk anak-anaknya. Asmu (53), salah satu pengrajin batu bata di desa itu mengaku sudah menggeluti pekerjaan ini sejak 1995. Dengan penghasilan yang tidak seberapa, Asmu bersama Titi Apriyani, istrinya, tak mau empat anaknya kemudian mewarisi pekerjaan orang tuanya. Dengan segenap upaya, keluarga sederhana ini mengirim anak-anaknya ke Kota Bengkulu untuk menuntut ilmu.
“Anak saya yang nomor satu sudah sarjana ekonomi, lulus tahun 2018 lalu. Sekarang bekerja di perusahaan swasta di Bengkulu. Yang nomor dua sedang skripsi di Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Yang nomor tiga lagi kelas satu SMP dan yang bontot baru kelas tiga SD,” kata Asmu sambing menyusun batu bata.
Memang tidak semua pengrajin memberi perhatian khusus kepada pendidikan anak-anaknya. Namun, prinsip yang dipegang teguh Asmu untuk menomor satukan urusan biaya sekolah anak menjadi model keluarga lain. Ia berkeyakinan, dengan pendidikan yang cukup, anak-anaknya bisa mencari rezeki sendiri dengan ilmunya.
Geliat ekonomi Asmu dan beberapa pengrajin lain di desa ini ada peran PTPN VII. Melalui kredit dana kemitraan yang digulirkan untuk para pengrajin, mereka dapat lepas dari pinjaman lain yang memberatkan dan bisa menambah modal untuk diputar di operasional kurupnya.
“Saya berterima kasih kepada PTPN VII yang setia mendampingi kami para pengrajin batu bata di Pasarpino ini dari tahun ke tahun. Saya sendiri sudah dapat dua kali pinjaman. Pertama, tahun 2015 sebanyak Rp8 juta. Kemarin setelah lunas, saya dapat pinjaman lagi Rp10 juta. Alhamdulillah hampir tidak ada bunga atau bunganya sangat kecil. Jadi kami tidak berat mengansurnya,” kata dia.
Usaha batu bata yang ditekuni Asmu dan para tetangga lain cukup untuk menghidupi keluarga. Dengan harga jual Rp550 per biji atau Rp550.000 per seribu bata, mereka dapat memproduksi sekitar 15 ribu bata per periode pembakaran.
“Prosesnya, kalau cuaca bagus dan panas bisa satu bulan kami panggang (membakar) sebanyak 15 ribu bata. Tapi kalau sering hujan atau panasnya kurang, bisa satu setengah bulan, tergantung cuaca,” kata Asmu.
Warga pengrajin batu bata di desa ini cukup beruntung karena tidak perlu mengeluarkan dana besar untuk bahan baku. Berbeda dengan daerah lain yang lapisan tanah lempung bahan batu bata akan habis karena tipis, di lokasi desa ini snagat tebal. Sudah berpuluh tahun Asmu dan warga lain tidak berpindah karena stok bahan baku bisa sampai kedalaman 2,5—3 meter.
Satu persoalan yang mungkin menjadi pekerjaan rumah mereka adalah bekas lubang galian tanah yang kini menjadi kolaam-kolam. Jika dikelola secara baik, lubang-lubang itu dimanfaatkan sebagai kolam ikan. Tetapi pada umumnya dibiarkan menjadi tempat pembuangan sampah.
Selain bahan baku utama berupa tanah liat, para pengrajin batu bata juga membutuhkan bahan pembakarnya berupa kayu. Namun, lokasi desa yang masih rimbun oleh begitu banyak tanaman kayu keras, diantara mereka memanfaatkan kayu dari ladang sendiri untuk membakar. Namun, sebagian pengrajin yang intensitas produksinya sudah rutin, mereka membeli kayu bakar dari sisa tebangan pohon yang diolah menjadi aneka keperluan.
“Kayu masih banyak di sini. Biasanya kami pakai kayu sendiri, tetapi kalaupun beli, tidak terlalu banyak. Kami biasanya kayu sisa orang motong pohon,” kata Asmu.
Produksi batu bata dari desa ini sudah sangat akrab dengan warga sekitar. Bisa dibilang, sebagian besar warga desa ini hidup dari mengelola kurup sebagai tempat memproduksi batu bata. (HUMAS PTPN VII)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *