Warga Lampung Timur Minta Pemerintah Tegas Soal Lahan Eks Transmigran Pramuka

Lampung Timur – Tokoh masyarakat Desa Rajabasa Lama, Labuhan Ratu, Lampung Timur meminta ketegasan pemerintah selaku pengendali lahan eks Transmigran Pramuka.

Lantaran ada kekhawatiran terjadi konplik antarmasyarakat.

Herwanto salahsatu tokoh masyarakat Rajabasa Lama kepada sejumlah awak media, Kamis 19 Maret 2020
mengatakan, hampir rata-rata tokoh masyarakat adat Rajabasa Lama tidak ada yang menguasai lahan mestinya masih milik pemerintah tersebut, namun yang menghawatirkan justru hanya dikuasai oleh oknum-oknum tertentu sacara peribadi.

“Karena itu kami dari masyarakat ini meminta ketegasan pemerintah dalam penguasaan lahan di tanah Pramuka itu, masak bisa dikuasai segelintir orang demi kekayaan peribadi, sementara kami masyarakat adat justru tidak memiliki, karena tak ingin melawan hukum.
Sebaiknya pemerintah segera ambil sikap, sebab sampai saat ini lahan tersebut belum pernah dikembalikan ke masyarakat adat,” tegas Herwanto.

Masyarakat adat mengaku tidak serakah untuk memiliki lahan bekas Transmigran Pramuka itu, namun masyarakat tidak dapat berdiam diri melihat lahan yang pada mulanya miliki adat atau ulayat itu hanya dikuasai orang-orang tertentu demi mengeruk keuntungan.

“Kami bukan mau memaksa agar dapat menguasai lahan itu, tetapi tidak seperti ini, sudah sangat lama kami bersabar, kita khawatir ada konflik antar masyarakat, maka sebaiknya pemerintah bersikap, kuasai lahan seperti dahulu atau kembalikan ke masyarakat adat,” harapnya.

Pernyataan itu juga dikuatkan Junaidi Kepala Desa Rajabasa Lama Labuhan Ratu, ia berujar, sesungguhnya ratusan hektar lahan yang ada itu bermula dari Transmigan Pramuka pada tahun 1972 silam, dan sampai saat ini pihak pemerintah, pusat maupun Provinsi Lampung belum pernah menyerahkan kembali lahan tersebut.

Persoalan lahan bermula dari adanya program pemerintah pada tahun 1971, bernama Transmigran Pramuka.
Mendukung program tersebut masyarakat adat Rajabasa Lama memberikan lahan sekira 450 hektar.
“Pelaksanaan program dimulai pada tahun 1972, namun semua kegiatan terhenti pada tahun 2002,” tambah Herwanto.

“Selanjutnya terjadilah berbagai macam modus, sampai sekarang ini, sehingga lahan itu banyak dikuasai orang lain, karena telah dibuat akte atau surat dari notaris,” tandasnya.(FR)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *