Bandarlampung – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung mengecam tindakan kekerasan dan intimidasi hingga yang diduga dilakukan beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung terhadap jurnalis mahasiswa Tenkokra, Alfany Pratama.
Tindakan kekerasan dan intimidasi hingga intervensi ini terjadi saat Alfany hendak mengonfirmasi pemilik mobil bergambar salah satu pasangan capres-cawapres yang terpakir di sekitar Fakultas Hukum Unila, Sabtu (13/4).
Saat kejadian, di FH Unila sedang berlangsung Seminar Nasional dengan tema “Pemilu Serentak: Potensi Ledakan Sengketa dan Konflik Pasca Pemilu. Kegiatan tersebut dihadiri Ketua Mahkamah Konstitusi dan perwakilan KPU serta Bawaslu.
Awalnya beredar informasi di media sosial yang menyebut ada mobil bergambar salah satu pasangan capres-cawapres terpakir di sekitar FH Unila. Akun medsos tersebut mempertanyakan mobil bergambar capres tersebut. Jurnalis Teknokra Mitha Setiani Asih ke lokasi untuk memastikan informasi.
Mitha kemudian memfoto mobil tersebut dan mewawancarai mahasiswa serta satpam. Namun, saat mengetik berita, ponsel Mitha habis baterai sehingga pulang ke indekos di Kampung Baru untuk menge-charge. Alfany kemudian mengganatikan Mitha ke FH untuk mendapatkan konfirmasi kepada pemilik kendaraan agar berita lebih berimbang.
Alfanny juga mewawancarai salah satu panitia seminar yang berupaya menutup gambar capres pada mobil tersebut dengan koran. Saat menunggu di dekat halaman parkir gedung dekanat FH Unila, Alfanny ditelepon oleh nomor yang tidak dikenal dan menanyakan lokasi dia berada. Alfanny menjawab di gazebo FH. Tiba-tiba datang 4 mahasiswa FH Unila menghampiri Alfanny.
Mahasiswa tersebut langsung menarik leher Alfanny sembari menanyakan maksud Teknokra menerbitkan breaking news di Instagram berjudul “Satu Unit Mobil Berstiker Salah Satu Pasangan Capres Terparkir di FH”. Mahasiswa lain menyampaikan, “Saya nggak suka gaya kamu nerbitkan beritu gitu,”.
Alfany terus merekan aksi mahasiswa yang mendekati dirinya untuk mencegah kekerasan fisik yang lebih parah. Seorang satpam kemudian membantu melerai dan membawa ke dalam gedung dekanat FH didampingi dosen.
Dosen juga menanyakan terkait berita itu kenapa bisa terbit. Alfanny sempat mengaktifkan video ponsel untuk berjaga-jaga, tapi diminta untuk dimatikan. Dosen dan mahasiwa menanyakan identitas Alfany, KTM dan kartu pers. Namun, Alfany mengaku semua identitasnya ada di sekret Teknokra yang tidak jauh dari gedung FH.
Alfany sebenarnya membawa kartu pers, tapi dia ingin segera keluar dari ruangan di gedung FH karena sendirian dan merasa tidak aman, sehingga berasalan semua identitasnya ada di sekretariat Teknokra. Di dalam ruangan ada lima orang, termasuk dosen. Namun, di luar ruangan banyak mahasiswa FH yang lain.
Akhirnya dosen dan beberapa mahasiswa FH bersama Alfanny ke sekretariat Teknokra. Alfany menyerahkan kartu pers Teknokra, tapi Tidak dengan KTM. Mereka ingin memastikan bahwa Alfany adalah mahasiswa Unila. Jurnalis Teknokra Mitha kemudian datang ke sekretariat Teknokra. Mitha juga diminta menunjukkan kartu pers dan KTM. Mereka kemudian memfoto KTM dan kertu pers tersebut.
Setelah jurnalis Teknokra berembuk dengan mahasiswa FH, kedua belah pihak sepakat saling meminta maaf. Namun, mahasiswa FH tetep mencoba mengintervensi agar braeking news tersebut dicabut. Namun, jurnalis Teknokra menolak permintaan tersebut.
Dengan Kejadian ini, AJI mengecam oknum mahasiswa Fakultas Hukum Unila yang melakukan kekerasan dan intervensi kepada jurnalis Teknokra. Ketua AJI Bandar Lampung Padli Ramdan menilai tindakan memegangi leher disertai upaya intimidasi merupakan kekerasan terhadap aktivitas wartawan dan melangggar kebebasan pers.
Menurut Padli, desakan untuk menghapus berita adalah bentuk intervensi kepada media dan melanggara Pasal 4 Ayat 2 UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebut terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Upaya menghalang-halangi kerja jurnalistik, mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan berita serta penyensoran merupakan tindakan pidana.
Padli menegaskan aktivitas pers mahasiswa merupakan bagian dari kebebasan berpendepat dan beksekpresi sehingga dilindungi UU. Setiap upaya menghalangi kebebasan pers dan kekerasan terhadap jurnalis harus dilawan dan pelaku perlu diberi sanksi tegas sehingga tidak terjadi lagi pada kemudian hari. “Selam pers mahasiswa patuh pada kode etik jurnalistik dan semua karya jurnalistiknya bisa dipertanggungjawabkan, maka aktivitas jurnalis kampus sah dan bagian dari kebebasan pers,” kata Padli dalam siaran pers, Minggu (14/4).
Setiap orang yang merasa dirugikan dengan pemberitaan media, kata Padli, bisa menempuh cara-cara yang diatur dalam UU pers. Misalnya dengan menyampaikan hak jawab atau hak koreksi yang nantinya bisa dimuat pada media yang bersangkutan. Cara-cara kekerasan, apa lagi di lingkungan kampus, sangat tidak dibenarkan.
Padli menambahkan civitas akademika Unila harus mendukung kebebasan pers yang dijamin oleh UU. Cara-cara kekerasan dan intimidasi bukanlah budaya akademik di lingkungan kampus sehingga perlu ada teguran dan sanksi terhadap mahasiswa yang melakukan kekerasan tersebut.