Catatan : Drs. H. Mukhlis Basri, MM
Wakil Ketua Bidang Kehormatan DPD PDI Perjuangan Lampung
Bencana alam datang melanda. Namun, justru semakin merekatkan persatuan sebagai anak bangsa yang bersaudara. Ibarat tubuh, bersaudara adalah sebuah satu kesatuan yang utuh. Jika satu bagian sakit, maka akan dirasakan oleh bagian tubuh yang lain.
***
Bencana alam tsunami yang melanda Lampung dan Banten pada Sabtu 22 Desember 2018 malam akibat erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda tentu membuat kita terkejut.
Bagaimana tidak, dengan tidak ditandai gempa bumi sebelumnya, tiba-tiba ombak tinggi melanda pesisir Lampung Selatan, Tanggamus dan Pesawaran di Lampung. Sementara di Banten, Anyer, Carita, Pandeglang juga ikut tersapu menyebabkan jatuhnya korban jiwa, harta dan benda. Dalam hitungan jam, pesisir di Selat Sunda pun porak-poranda.
Seperti kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencan (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangannya, Sabtu (29/12/2018) seperti dilansir detik.com.
Data dari BNPB hingga Sabtu (29/12/2028) atau H+7 pascabencana tercatat korban tsunami di Selat Sunda adalah 431 orang meninggal dunia, 7.200 orang luka-luka, 15 orang hilang, dan 46.646 orang mengungsi.
Selain itu, 1.527 unit rumah rusak berat, 70 unit rumah rusak sedang, 181 unit rumah rusak ringan, 78 unit penginapan dan warung rusak, 434 perahu dan kapal rusak dan beberapa kerusakan fasilitas publik.
Sungguh berat yang dirasakan korban bencana. Ditinggalkan orang-orang tercinta. Juga yang mengalami luka-luka dan kehilangan harta dan bendanya. Belum lagi trauma mendalam bagi keluarga dan anak-anak yang ditinggal orang yang dicintai.
Tetapi selalu ada hikmah di balik musibah. Rasa solidaritas, kemanusiaan, empati, persaudaraan dan kebersamaan kita diuji. Inilah momen meneguhkan rasa persatuan kita sebagai sesama anak bangsa. Dan bencana di pesisir Selat Sunda meneguhkan kita masih mampu menunjukkan kepedulian, kebersamaan dan persatuan.
Hal itu terbukti dari begitu derasnya bantuan dari seluruh masyarakat untuk membantu sesamanya. Di berbagai media daring, cetak, elektronik nasional maupun lokal, berita bantuan untuk tsunami terus digalang. Linimasa media sosial pun dipenuhi ajakan dan kegiatan berdonasi. Bantuan yang digalang secara spontanitas pun terus mengalir ke lokasi-lokasi penampungan pengungsian.
Kita sebagai anak bangsa adalah bersaudara. Dikatakan bersaudara itu diumpamakan seperti bagian tubuh yang merupakan satu-kesatuan. Saat ada bagian tubuh yang sakit, maka bagian tubuh yang lain akan ikut merasakan juga rasa sakit itu secara otomatis.
Misalnya jika kaki kita tertusuk duri tajam, maka dengan spontanitas tangan akan ikut meraba kaki, mulut akan ikut bersuara dan berkata aduh. Sedangkan mata akan mengeluarkan airmatanya. Itulah ibarat sebuah satu kesatuan dalam persaudaraan.
Bencana alam dan kepedulian bersama inilah yang akan mengantarkan kita sebagai suatu bangsa untuk tetap memupuk rasa persatuan. Saling membantu satu dengan yang lainnya. Meringankan beban yang telah menimpa saudara-saudara kita baik di Lampung maupun Banten. Inilah saatnya kita menunjukkan kebersamaan atas bencana dan musibah besar yang menimpa pesisir Selat Sunda.
Saya pun merasakan sendiri. Secara spontanitas kami membuka posko penanggulangan bencana bernama Balai Perjuangan Rakyat 45. Dalam hitungan jam, bantuan datang dari kerabat dan kolega. Jumlahnya pun hingga puluhan juta.
Bantuan barang pun demikian. Berbagai barang kebutuhan pengungsi seperti bahan makanan, obat-obatan, selimut, sarung, sajadah, peralatan mandi, perlengkapan bayi dan anak, baju anak dan dewasa semua bisa digalang. Melalui posko yang kami buka di Desa Banding, Lamsel, bantuan didistribusikan langsung ke pengungsi korban tsunami. Bahkan harus dengan mengendarai motor untuk menaiki gunung tempat lokasi pengungsian. Secara marathon kami distribusikan, dalam satu hari yakni Kamis (27/12/2018) kami distribusikan di delapan titik lokasi pengungsian korban tsunami.
Rasa persaudaraan, persatuan kita itu masih tinggi. Dan tentu hal ini patut kita syukuri. Tak peduli berbeda pilihan politik, beda keyakinan agama, suku, ras, latar belakang pendidikan dan profesi semua tergerak membantu korban akibat tsunami. Bencana menyatukan kita.
Kini setelah tsunami mereda, tetapi semuanya belumlah selesai. Bantuan juga harus tetap diawasi. Jangan sampai menguap hingga korban bencana justru kesulitan mendapatkan bantuan yang sangat dibutuhkan.
Pemulihan pasca bencana tetap membutuhkan bantuan kita sebagai anak bangsa. Bergandengan tangan tetap dibutuhkan. Hingga semuanya bisa pulih dan bangkit kembali. (*)