Fauzi Malanda. Foto ist |
BANDAR LAMPUNG – Kasus dugaan ‘jual beli kursi’ mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (FK-Unila) diduga menyeret sejumlah pihak.
Ketum Brantas Natkotika dan Maksiat (BNM RI), Fauzi Malanda meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan hakim bersikap objektif dan profesional dalam menangani perkara ini.
“Kita berharap diusut tuntas dan dihukum seberat berat-beratnya,” kata Fauzi, Jumat (09/11/2018).
Pria yang aktif di berbagai ormas ini memaparkan, dugaan jual beli kursi FK Unila ini jelas melanggar UU.
“Oknum yang terlibat itu sudah tidak patuh pada UUD 1945. Bahwa salah satu amanah dalam UUD yaitu, mencerdaskan kehidupan bangsa. Kata ini jelas,” ucapnya.
Kemudian lanjut dia, yang kedua agenda penting di Provinsi Lampung ini adalah, persidangan oknum Kalapas Kalianda yang terlibat penjualan narkoba.
“Kita BNM RI minta jangan main-main hakim dalam perkara ini. Ini harus hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Karena oknum Kalapas sudah tidak menjalankan amanah. Justru ikut menghancurkan kehidupan generasi dengan narkoba. Dalam masalah persidangan oknum Kalapas Kita BNM takut terjadi ada perasaan enak tidak enak. Karena berdasarkan investigasi kita, salah satu hakim yang menyidangkan sebelum menjadi hakim, oknum tersebut pernah menjadi pegawai Kalapas dalam karirnya. Itu yang membuat kekhawtiran kita,” paparnya.
Diketahui, kasus dugaan ‘jual beli kursi’ mahasiswa baru FK-Unila mengungkap fakta baru. Pasalnya, selaku terdakwa WD (37), diduga kuat hanya sebagai korban. Hal tersebut terungkap dipersidangan dalam agenda mendengarkan keterangan dari saksi terdakwa di Pengadilan Negeri Bandarlampung, Kamis, (11/08/2018).
Dalam agenda sidang mendengarkan saksi dari terdakwa itu, Terdakwa menyebut, bahwa dirinya hanya sebagai perantara yang diminta tolong oleh pihak perwakilan dari calon mahasiswa Yollanda Natalia Sagala yakni saudara Francis. Dan selanjutnya sejumlah uang terhimpun itu diserahkan kepada Oknum Pegawai Pusat Komputer (Puskom) Unila bernama Nilamto.
“Ya benar saya mulanya dimintai tolong oleh saudara Fran, itu juga bedasarkan kesanggupan saudara Nilamto yang menjanjikan, tapi karena merasa terbawa maka saya beritikad baik mengembalikan uang tersebut meski belum sepenuhnya, karena uang itu ada pada Nilamto,” ungkap terdakwa dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Ketua, Samsuddin di PN Tanjung Karang, Kamis (11/08).
Sementara itu Penasehat Hukum (PH) terdakwa, Yudi Yusnandi, SH. MH mengatakan, klienya hanyalah sebagai korban perantara, karena uang tersebut diberikan kepada Nilamto yang disebut-sebut sebagai orang yang sanggup meluluskan Yollanda Natalia Sagala di Fakultas Kedokteran Unila.
“Harus ada pelaku utama, agar bisa dikaitkan secara bersama, sekarang ini kan terkesan dipaksakan, dan di pengadilan terbukti pelaku tidak sendirian, dan ada nama Nilamto,” tegasnya usai mendampingi mendengarkan kesaksian terdakwa.
Menurut Yudi yang juga merupakan Ketua LBH NU ini, klienya sangat kooperatif dengan mengakui beberapa fakta dihadapan jaksa penuntut umum dan majelis hakim, bahkan menurutnya tersangka kini seakan menjadi tersangka tunggal dalam kasus ini, padahal ada pelaku lain yang seharusnya paling bertanggung jawab.
“Klien kami cukup kooperatif, beliau beritikad baik mengembalikan uang itu meski belum sepenuhnya lantaran uangnya dibawa kabur oleh terduga Milamto yang merupakan staf Unila, padahal ia tidak menikmati hasil (uang Suap) yang semua itu diserahkan pada Nilamto,” terangnya.
Yudi tak menampik klienya memang terlibat, tetapi itu merupakan unsur turut serta sehingga pihaknya menganggap dakwaan JPU belum lengkap, karena masih dianggap prematur lantaran nama Nilamto yang disebut sebut didalam persidangan tersebut tidak masuk didalam BAP oleh penyidik kepolisian dan hanya memasukan alat bukti yang berupa kwitansi yang diduga dipalsukan oleh pelapor serta hanya keterangan terdakwa di BAP yang dianggap telah cukup bukti.
Sehingga, Ia pun meminta rekomendasi majelis hakim, ataupun jaksa agar memeriksa keterlibatan terduga Milamto karena dialah yang diduga sebagai otak pelakunya.
“Klien kami memang berperan dan terlibat, tetapi itu merupakan unsur turut serta, seharusnya tersangka Nilamto ini kan bisa dijadikan tersangka utama karna pelaku mempertemukan keduanya,” tukasnya.
Selain itu juga, menurut keterangan terdakwa menyangkal pada perkara tersebut berkomunikasi dan bertemu langsung dengan bapak Yollanda, namun pengakuannya, bahwa saat itu dirinya berkomunikasi dengan Ibu Yollanda bukan sang Bapak.
” saya itu tidak pernah berkomunikasi dengan bapak korban, saya itu selalu berhubungan baik ketemu ataupun via HP dengan ibunya, jadi ngak bener itu jika saya dituduhkan didalam BAP”, ungkap WD.
Diketahui, sebelumnya dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rita Susanti, bahwa perbuatan tersebut berawal pada bulan Mei 2017 lalu. Terdakwa yang berstatus sebagai Dosen Fakultas Hukum di Kampus Unila diminta memasukan mahasiswi baru dengan sejumlah uang.
Saat itu teman yang pernah dikenal terdakwa yakni bekerja disebuah Leasing bernama Francis Simanulang meminta bantuan kepada terdakwa, meski terdakwa sebelumnya menyatakan tidak bisa, namun mereka tetap mempercayakan pada dirinya. Karena merasa beban terkesan dipaksa diminta tolong kepadanya, maka terdakwa kemudian mempertemukan dengan Nilamto hingga kesepakatan terjadi.
pada akhir cerita, sang anak Yollanda Natalia Sagala tidak diterima kerena nilainya rendah, lalu pihak keluarga mempertanyakan dan meminta pengembalian uang, kemudian merasa bertanggungjawab terdakwa pun telah mengambalikan lebih dari separo uang itu dengan jumlah Rp 175 juta berupa Uang tabungan, selanjutnya Rp 65 juta, sementara sisanya sekitar Rp 110 Juta masih dibawa kabur oleh terduga Nilamto yang tak lain staf/pegawai di Puskom Unila.
Informasi yang didapat, Yollanda Natalia Sagala yang tak lain mahasiswa yang sebelumnya dinyatakan tidak diterima di fakultas Kedokteran tersebut, anehnya dikabarkan sudah berkuliah di Unila dan menduduki di Fakultas Pertanian dengan nomor pokok mahasiswa ( NPM) 1714141028.