Andi Surya. Foto ist |
Jakarta – Polemik lahan antara warga Bandarlampung dan PT. KAI dibawa di rapat di pusat.
Rapat koordinasi masalah lahan Groundkaart pada Rabu (17/10/18) di Bina Graha Kantor Staf Presiden (KSP) yang dipimpin oleh Abetnego Tarigan, Senior Advisor Kedeputian Isu-Isu Sosbud, Tim DPD RI yang diketuai oleh Ketua BAP Gaffar Usman termasuk Senator Lampung Andi Surya berlangsung dalam suasana hangat.
Rapat dengar pendapat terkait status lahan Grounkaart atas undangan KSP ini diikuti oleh Kementerian Perhubungan, Kementerian ATR/BPN, Direksi dan jajaran Divre PT. KAI se-Indonesia termasuk Lampung, diwarnai oleh beberapa kali interupsi oleh Andi Surya.
Ketua BAP Gaffar Usman dalam kata pembukanya menyatakan, pihaknya ingin mencari solusi permasalahan ini. Mari kita berpikir jauh ke depan untuk bangsa ini. Mana yang menjadi kebutuhan dasar PT. KAI atas lahan grounkaart seperti ruas rel KA, kantor, rumah jabatan dan rencana pengembangan KA, maka lahan itu bisa disiapkan. Namun untuk yang tidak diperlukan PT. KAI sudah sepantasnya menjadi milik masyarakat yang telah menempati lebih dari 20 tahun sesuai amanat UUPA no. 5/1960.
“Kita ketahui dan bahas bersama ahli, groundkaart bukan merupakan alas maupun status hak,” sebutnya.
Dalam pernyataannya, Senator Lampung Andi Surya, menyampaikan hingga saat ini PT. KAI tidak dapat menunjukkan Grounkaart asli sebagai bukti lahan.
Mantan Anggota DPRD Lampung ini meminta direksi PT. KAI menunjukkan keberadaan Groundkaart asli. Namun hingga rapat berakhir, direksi maupun staf ahli hanya membeberkan sejarah PT. KAI dan hukum yang berlaku zaman Belanda.
“Menurut saya apa yang dipaparkan tersebut tidak kontekstual, tidak bisa membuktikan adanya groundkaart secara fisik,” jelas Andi Surya.
Selain itu kata Ketua Yayasan Umitra Indonesia ini, pihaknya juga memberi fakta, Kementerian Keuangan melalui Dirjen Aset dalam rapat resmi di Senayan memberitahu lahan Groundkaart tidak tercatat dalam sistem manajemen aset. Sebelumnya, BAP juga pernah meminta Kementerian Perhubungan untuk menunjukkan daftar aset yang di klaim PT. KAI, namun hingga dua bulan tidak mampu menjelaskan yang dimaksud.
“Jika pun bukti fisik groundkaart itu ada, belum secara otomatis lahan-lahan tersebut bisa dikuasai karena gorundkaart itu cuma kartu-kartu yang berbentuk gambar peta saja,” papar Andi Surya.
Kementerian Perhubungan, yang diwakili Sofia Aviantie Ditjen Perkeretaapian, menyatakan selama ini sesuai dengan UU Perkeretaapian no. 23/2007 sesungguhnya wilayah operasional PT. KAI adalah enam meter kiri dan kanan rel KA.
“Oleh karenanya sepengetahuan kami wilayah itulah yang menjadi hak dan tanggungjawan PT. KAI, sehingga untuk batas-batas di luar itu tidak diatur dalam undang-undang tersebut,” ujarnya.
Menanggapi itu, Kementerian ATR/BPN yang diwakili Supardy Marbun Direktur Sengketa dan Konflik Tanah dan Ruang Wilayah I, menyatakan rapat ini belum bisa memutuskan status grounkaart, masih membutuhkan telaah panjang, karena masih ada perbedaan persepsi terhadap konsep Groundkaart.
“Maka diperlukan kajian lebih lanjut dan koordinasi yang melibatkan antar kementerian,” ungkapnya.
Sementara itu, Senior Manager Aset PT. KAI menyatakan, pihaknya tidak akan membiarkan sejengkal pun lahan Groundkaart dikuasai pihak-pihak lain.
“Oleh kami karenanya akan terus mempertahankan,” tegasnya, meski tidak mampu menunjukkan bukti fisik Groundkaart.
Dalam pernyataan akhir, pimpinan rapat Abetnego Tarigan, memberi arahan dan simpulan, ia menyampaikan, rapat ini akan dilanjutkan untuk mendalami dan berkoordinasi dengan beberapa elemen kementerian.
KSP akan mencari solusi agar PT. KAI tetap bisa operasional dengan baik namun di sisi lain rakyat mendapatkan hak-haknya sesuai peraturan perundangan. Selanjutnya sebagaimana amanat putusan rapat di DPD RI yang lalu, sambil menunggu rapat internal dengan kementerian, pihak KSP akan mengundang aparat penegak hukum yaitu KPK, Kejaksaan dan Polri bersama BAP DPD RI.
“Untuk berdiskusi menyamakan persepsi agar berada dalam frekuensi yang selaras menyikapi masalah Groundkaart ini,” tutupnya.