Oleh: Yandi Hermawandi,
Pengamat Politik Madjid Politika dan Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yakni Pasal 169 huruf nyang diajukan oleh Partai Perindo terkait denngan syarat jabatan presiden dan wakil presiden (wapres) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam Pasal 169 huruf n yang menjadi perdebatan, terutama frasa “belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”.
Langkah ini ditempuh dalam rangka dalam mendapatkan kepastian hukum mengenai Pasal 7 UUD 1945 mengenai masa jabatan presiden dan wakil presiden sekaligus memberikan kepastian apakah Jusuf Kalla masih dapat dicalonkan lagi sebagai calon wakil presiden atau dapat menjabat lagi sebagai wakil presiden.
Ujin materi atau judicial review merupakan langkah paling tepat demi kepentingan bangsa sehingga di masa depan sehingga tidak terjadi kembali perdebatan di ruang publik terhadap isu ini apabila terulang kembali hal yang sama sekaligus memenuhi hak konsititusi atas undang-undang.
Di samping itu, gugatan yang diajukan DPP Partai Perindo ke MK dan keikutsertaan JK sebagai pihak terkait dalam permohonan tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan merupakan kerangka mekanisme hukum yang telah disediakan Undang-Undang sehingga harus dihormati dan melawan tindakan ini dapat dikategorikan tindakan melawan konstitusi.
Kekhawatiran dan Manuver
Menguatnya kembali nama Jusuf Kalla mendatangkan kekhawatiran tersendiri bagi kalangan para partai koalisi pendukung Jokowi khususnya bagi ketua umum partainya masing-masing dimana apabila MK menerima gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 maka JK memiliki peluang untuk dapat kembali bersanding dengan Jokowi.
Berbagai pengamat dan politisi memandang bahwa JK yang paling ideal mendampingi kembali Jokowi agar kembali menang di Pilpres 2019 mendatang. Sosok JK dianggap dapat diterima oleh berbagai kalangan khususnya kelompok Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah, sebagaimana saat ini Jokowi diterpa isu anti Islam setelah isu aksi bela Islam 212.
Selain itu, JK dekat dengan pengusaha, sipil, perpaduan antara Jawa dan Non Jawa serta merupakan jalan tengah dari untuk tidak memilih salah satu pimpinan partai pendukung sehingga kesan keberpihakan kepada salah satu partai pendukung dapat dihindari sekaligus mencegah keretakan dan “kecemburuan” diinternal partai pendukung yang apabila tidak diselesaikan dapat menjadi “duri dalam daging”.
Sementara itu dari kalangan partai pendukung yang tidak setuju dengan JK dapat kembali dicalonkan menjadi cawapres Jokowi berusaha melakukan berbagai langkah dan manuver politik. Opini dan wacana dibangun serta lobby digiatkan ke berbagai pihak.
Salah satu partai yang cukup punya kepentingan terbesar dan sangat “getol” mendorong ketua umumnya mendampingi Jokowi adalah Airlangga Hartarto Ketua Umum Partai Golkar yang dikoordinasikan oleh Rizal Mallarangeng melalui gerakan relawanGolkar Jokowi atau GoJo, dengan Gojo ini maka tim Airlangga Hartarto mencoba mambangun isu cukup agresif dan massif seperti anti demokrasi,otoriterisme, dan anti reformasi kepada JK sehingga dapat membentuk opini publik dengan tujuan dapat mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung keputusan MK serta keputusan Jokowi.
Gerakan Gojo Rizal Mallarangeng ini digencarkan sehingga nantinya mampu menarik perhatian Jokowi kepada Golkar khususnya Airlangga ataupun nantinya Golkar dapat berperan lebih dalam koalisi apabila Jokowi kembali menang, tentu saja Golkar sebagai partai besar dengan hilangnya JK dari kandidat Cawapres Jokowi maka Golkar posisi tawar yang besar dibandingkan dengan partai pendukung lainnya.
Politik memang kadangkala tidak mengenal etika, jasa dan kontribusi seseorang. Manuver yang dilakukan oleh Airlangga Hartarto dan Rizal Mallarangeng dapat dikatakan “Air Susu Dibalas Air Tuba” kepada Jusuf Kalla meskipun sebenarnya dalam politik hal ini merupakan langkah biasa namun hal ini bisa sangat jauh dari semangat kesantunan Politik Jokowi.
Jusuf Kalla sebagai senior dan sepupu Partai Golkar telah berjasa besar khususnya menyatukan kembali Partai Golkar yang sempat mengalami dualism kepengurusan antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono serta mendorong dan mendukung Airlangga Hartarto menjadi Ketua Umum Partai Golkar serta membukakan jalan Golkar masuk dalam koalisi partai pendukung Jokowi sehingga Partai Golkar mendapatkan jatah Menteri dari Jokowi-JK. Airlangga dan Rizal seakan lupa atas jasa JK. Dalam kasus ini JK diserang dan ditekan dari partainya sendiri, partai selalu setia dia perjuangakan kepentingannya.
JK memang sesungguhnya bukan lawan biasa bagi para ketua umum partai dengan pengalaman dan senioritas JK dalam politik dianggap masih sangat dibutukan oleh Jokowi khususnya kemampuan JK yang dikenal piawai di dalam membangun dialog dan andal di dalam mencari solusi. Sementara itu sosok Airlangga belum dapat menandingi sosok JK, prestasi Airlangga sebagai menteri perindustri nihil dari prestasi, tidak lahir sebuah terobosan dari tangan Airlangga dalam mendorong industri saat ini tren deindustrialisasi dihadapi dunia usaha karena tidak mampu melahir produk lokal, industri justru didominasi produk impor. Dengan nihilnya prestasi Airlangga selama menjadi menteri tentunya sangat berisiko bagi elektibiltas Jokowi.
Politik dengan adu gagasan dan opini yang sedang dibangun oleh berbagai pihak yang berkepentingan atas keputusan MK diharapkan MK tidak terpengaruh sehingga dapat membuat keputusan dengan pertimbangan rasional, adil, demokratis yang berlandaskan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dengan sikal mandiri dan independen sehingga tidak menciderai hak konstitusi warga negara dan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.