Foto ist |
BANDAR LAMPUNG- Upaya politik dari partai-partai politik membentuk Pansus di DPRD untuk membatalkan hasil Pilkada Lampung sudah terlihat akan menemui jalan buntu dan sia-sia.
Ahli hukum tata negara, Refly Harun, S.H., M.H., LL.M menegaskan bahwa Pansus DPRD Lampung tidak akan bisa membatalkan hasil penghitungan suara Pilkada dan keputusan KPUD Lampung. Hal ini ditegaskannya seusai memberikan kesaksian dalam Sidang Gakkumdu Lampung di Bandar Lampung, Kamis (12/7) malam.
“Hasil dan keputusan KPUD (Lampung) tidak bisa dibatalkan oleh DPRD. Institusi yang bisa membatalkan hasil Pilkada itu adalah hanyalah Mahkamah Konstitusi (MK),” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa hasil Pilkada adalah Surat Keputusan (SK) KPU setempat.
“Hasil yang dibatalkan MK adalah SK KPUD Provinsi Lampung,” jelasnya meluruskan.
Atas pembatalan penetapan SK tersebut lanjut Refly, maka dilakukan pembuatan SK baru.
“Atau pembuatan SK ditunda untuk diadakan SK Baru. Atau pemungutan suara ulang untuk penghitungan suara ulang. Kalau dalam pemungutan suara dan penghitungan suara ulang terpilih orang yang sama berarti SK itu hidup lagi,” ujarnya.
Tentang diskualifikasi menurutnya tidak mudah dilakukan. Diskualifikasi secara tidak langsung pasti membatalkan.
“Objeknya bukan hasilnya. Objeknya penetapan dia sebagai calon. Karena penetapan dia dibatalkan maka hasilnya belum ada,” katanya.
*Berat Minta Ampun*
Sebelumnya dalam sidang Gakkumdu tersebut sementara Rafli Harun mengatakan, para saksi ahli memberi penjelasan secara keilmuan, bukan berdasarkan peristiwa di lapangan.
“Kami mana tahu faktanya seperti apa. Jadi kalau soal fakta, jangan tanya ke sini. Ada susu, martabak. Itu soal pembuktian di sini. Kami bicara soal prinsip. Ini ada rezim. Ada rezim pidana. Ada pelanggaran administrasi. Pidana berlaku semua orang. Administratif berlaku untuk calon. Tapi, yang dilaporkan bukan hanya calon,” ungkap Rafli.
Untuk dugaan pelanggaran administrasi, terusnya, harus bisa dibuktikan di persidangan secara piramida terbalik.
“Jadi yang dilaporkan harus pakai prinsip piramida. Yaitu semua bukti, semua saksi harus membuktikan mengarah ke pasangan calon. Kalau tidak, pengadilan ini tidak bisa memberikan hukuman apa-apa. Kalau ada satu, dua, atau tiga terbukti, paling majelis membawa ke Gakkumdu menindak pidana pemilu. Tindak pidana itu sifatnya individual responsibility. Siapa yang berbuat, dihukum. Kalau tidak bisa membuktikan itu, jangan salahkan diri sendiri. Tidak mudah membuktikan sesuatu itu TSM,” jelasnya.
Menurut dia, jika tidak bisa dibuktikan, unsur TSM bisa dikaitkan dengan hasilnya.
“Maka saya bilang beratnya minta ampun pembuktian TSM itu,” katanya.(*)