Foto ist |
Bandarlampung-
Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu bisa dilakukan pada
tingkat lokal lewat upaya non-yudisial.
Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu bisa dilakukan pada
tingkat lokal lewat upaya non-yudisial.
Inisiatif itu bisa dilakukan di Lampung
dalam menyelesaikan kasus HAM di Talangsari, Lampung Timur, yang terjadi pada 7
Februari 1989.
dalam menyelesaikan kasus HAM di Talangsari, Lampung Timur, yang terjadi pada 7
Februari 1989.
Aktivis
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ferry Kusuma
mengatakan, seiring dengan bertambahnya usia korban pelanggaran HAM, mereka
membutuhkan adanya keadilan dan penyelesaian kasus. Upaya penyelesaian kasus di
luar hukum bisa dilakukan di tingkat lokal.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ferry Kusuma
mengatakan, seiring dengan bertambahnya usia korban pelanggaran HAM, mereka
membutuhkan adanya keadilan dan penyelesaian kasus. Upaya penyelesaian kasus di
luar hukum bisa dilakukan di tingkat lokal.
“Penyelesaian
secara hukum masuk ranah nasional. Pemerintah di daerah bisa membuat inisiatif
untuk menyelesaikan pada tingkat lokal. Misalnya memberikan rasa keadilan untuk
korban sehingga mendapatkan hak sebagai warga,” kata Ferry dalam diskusi
publik bertema “Refleksi 29 Tahun Pelanggaran HAM Talangsari, Pemenuhan
Hak Ekosob untuk Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Talangsari, Kamis (08/02/2018).
secara hukum masuk ranah nasional. Pemerintah di daerah bisa membuat inisiatif
untuk menyelesaikan pada tingkat lokal. Misalnya memberikan rasa keadilan untuk
korban sehingga mendapatkan hak sebagai warga,” kata Ferry dalam diskusi
publik bertema “Refleksi 29 Tahun Pelanggaran HAM Talangsari, Pemenuhan
Hak Ekosob untuk Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Talangsari, Kamis (08/02/2018).
Selain
Ferry, diskusi yang berlangsung di Kantor LBH Bandar Lampung ini, menghadirkan
pembicara Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Wahyu Sasongko, Direktur LBH
Bandar Lampung Alian Setiadi, mantan Direktur LBH Bandar Lampung Abi Hasan
Muan, korban Talangsari Edi Arsadat, dan Ketua AJI Bandar Lampung Padli
Ramdan.
Ferry, diskusi yang berlangsung di Kantor LBH Bandar Lampung ini, menghadirkan
pembicara Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Wahyu Sasongko, Direktur LBH
Bandar Lampung Alian Setiadi, mantan Direktur LBH Bandar Lampung Abi Hasan
Muan, korban Talangsari Edi Arsadat, dan Ketua AJI Bandar Lampung Padli
Ramdan.
Ferry
mencontohkan di Aceh telah ditunjuk komisioner kebenaran dan rekonsiliasi
sehingga ada penyeleasian kasus pelanggaran HAM. Penyelesaian dalam bentuk
pemulihan nama baik korban atau pemberian kompensasi.
mencontohkan di Aceh telah ditunjuk komisioner kebenaran dan rekonsiliasi
sehingga ada penyeleasian kasus pelanggaran HAM. Penyelesaian dalam bentuk
pemulihan nama baik korban atau pemberian kompensasi.
Edi Arsadat
mengaku sudah mulai ada perhatian dari Pemkab Lampung Timur kepada keluarga dan
korban pelanggaran HAM. Misalnya diadakan peringatan tragedi Talangsari dengan
melibatkan semua satuan kerja perangkat daerah. Warga juga sudah mendapat
pelayanan kesehatan dan pendidikan serta bantuan yang lain.
mengaku sudah mulai ada perhatian dari Pemkab Lampung Timur kepada keluarga dan
korban pelanggaran HAM. Misalnya diadakan peringatan tragedi Talangsari dengan
melibatkan semua satuan kerja perangkat daerah. Warga juga sudah mendapat
pelayanan kesehatan dan pendidikan serta bantuan yang lain.
Ia berharap
korban pelanggaran HAM tidak jadi komoditas politik menjelang pemilu legislatif
dan presiden. Hingga saat ini pemerintah belum mau menuntaskan kasus Talangsari
dan membentuk Pengadilan HAM adhoc untuk menghukum pelaku.
korban pelanggaran HAM tidak jadi komoditas politik menjelang pemilu legislatif
dan presiden. Hingga saat ini pemerintah belum mau menuntaskan kasus Talangsari
dan membentuk Pengadilan HAM adhoc untuk menghukum pelaku.
Wahyu
Sasongko menambahkan negera tidak pernah mengakui kekeliruan yang dilakukan
pada masa lalu. Padahal negera telah melakukan kesalahan dan tidak kunjung
memperhatikan nasib keluarga dan korban kejahatan HAM.
Sasongko menambahkan negera tidak pernah mengakui kekeliruan yang dilakukan
pada masa lalu. Padahal negera telah melakukan kesalahan dan tidak kunjung
memperhatikan nasib keluarga dan korban kejahatan HAM.