LKBH SPSI Lampung Tegas Tolak Outsourcing dan PKWT

Logo LKBH SPSI Lampung

Bandarlampung-  Menyikapi system kerja outsourcing
dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di
Perusahan Milik Negara.

Sebelum
diundangkannya Undang-Undang No 13 Tahun2003, Outsourcing diatur dalam
KUH Perdata Pasal 1601 b, Pasal
tersebut mengatur bahwa pemborongan suatu pekerjaan
adalah kesepakatan dua belah pihak
yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan
suatu pekerjaan kepada pihak yang saling mengikatkan
diri, untuk menyerahkan suatu
pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga.
Selanjutnya pasca disahkannya UU No 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan maka diaturlah tentang
pelaksanaan Tenaga Kerja Outsourcing yang pada
pokoknya memuat kebutuhan tenaga
kerja untuk menjalankan produksi disuplai oleh perusahaan
penyalur tenaga kerja
(outsourcing).
Di satu sisi tenaga kerja (buruh) harus tunduk dengan perusahaan penyalur
.
“Di
sisi lain harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja. Kesepakatan
mengenai
upah ditentukan
perusahaan penyalur dan buruh tidak bisa menuntut pada perusahaa
n tempat ia bekerja,” kata . Drektur eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan dan Konsultasi Hukum (YLKBH) SPSI Lampung Ajie Surya Prawira,SH melalui
pesan tertulis, Kamis(26/01/2017).

Baca: LKBH SPSI Lampung Tegaskan kebijakan CV. Putrasalim Celesindo Tahan Ijazah Karyawan Potensi Pelanggaran HAM 

Sengketa Lahan Register 22 Pringsewu Lampung tak Kunjung Usai, Warga Minta Pendampingan LKBH

Sementara
itu
lanjut dia, di
perusahaan tempat ia bekerja, harus mengikuti
ketentuan jam kerja, target produksi, peraturan
bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi
proses itu, baru ia bisa mendapat upah dari perusahaan
penyalur. Hubungan sebab akibat
antara bekerja dan mendapatkan hasil yang dialami buruh tidak lagi
mempunyai hubungan
secara
langsung. Bila tanpa Peruahaan penyalur, buruh memperoleh upah dari perusahaan
tempat ia bekerja sebagai majikan,
kini harus menunggu perusahaan tempat ia bekerja
membayar management fee kepada perusahaan penyalur
sebagai majikan kedua, baru ia
memperoleh kucuran upah. Selain itu juga dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003
Tentang Ketenaga
kerjaan jelas diatur bahwa adanya perusahaan penyedia tenaga
kerja outsourcing, yang berbentuk
badan hukum, dan bertanggung jawab atas hak-hak
tenaga kerja. Selain itu, diatur juga bahwa hanya
pekerjaan penunjang
.
Pekerjaan
yang
bersifat musiman
dan produksi uji coba yang dapat di
outsourcingkan,” tegasnya.
Sampai pada
saat ini penolakan baik dari serikat pekerja maupun dari lembaga civil society
terus bertambah terkait penerapan
sistem kerja outsourcing, hal tersebut dilakukan karena
dianggap merugikan pekerja/buruh
antara lain membuat posisi tawar pekerja/buruh
semakin lemah karena tidak ada kepastian kerja,
kepastian upah, jaminan
sosial,
jaminan kesehatan, pesangon jika di PHK, dan tunjangan-tunjangan
kesejahteraan lain.
Dari
berbagai sumber yang relevan Perusahaan milik
negaralah sebagai penyumbang presentase terbesar yang
mengunakan system
kerja
outsourcing, bahkan beberapa Perusahaan milik Negara membentuk Anak
perusahaan khusus untuk penyedia tenaga
kerja outsourcing
,” ujarnya.
Hal ini yang sangat miris kata dia, bahwa yang seharusnya Perusahaan
milik Negara menjadi contoh
kepada perusahaan swasta tapi malah sebaliknya. Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan milik
Negara itu sendiri dalam menjalankan system
kerja outsourcing antara lain yang seharusnya tenaga kerja
outsourcing itu
hanya
melakukan kegiatan penunjang Produksi (Cleaning service, sekuriti,office
boy, supir,dll) tapi pada faktanya
masih banyak tenaga kerja outsourcing di
perusahaan milik negara yang melakukan kegiatan pokok
(teller/kasir di
bank, operator stasiun pengisian Bahan
bakar umum, dll).
Contoh
kasus kekinian yang baru kami tangani adalah Sdr. Mukhsin Muit, Tanggal
Lahir 27 Maret 1981, Pekerjaan Buruh,
Alamat di Desa Kekiling Rt/Rw.004/002,
Penengahan Kab. Lampung Selatan, merupakan salah satu pekerja
pada PT. Pertamina
Retail
(SPBU Coco 21.101.02) yang merupakan Anak Perusahan PT (persero) Pertamina.
Mukhsin Muit telah bekerja pada PT.
Pertamina Retail (SPBU Coco 21.101.02) sejak
tanggal 12 April 2006 sebagai tenaga Pramuniaga (operator),”.
Ia menjabarkan, di tahun 2008 Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dirubah oleh PT. Pertamina
Retail (SPBU Coco 21.101.02)
menjadi Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT) yang diperbaharui setiap satu
tahun sekali.
Bulan
Januari Tahun 2015, PKWT diubah menjadi 3 (tiga) bulan dari tanggal 1 Januari
2015 s/d 31 Maret 2015. Bulan April
2015 kontrak dirubah kembali menjadi satu tahun
dengan perubahan vendor dari PT. Pertamina Retail
(SPBU Coco 21.101.02) kepada
Pertamina Training and consulting (PTC) tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu kepada
pekerja. Pekerja
hanya diminta melakukan penandatangan kontrak. Pada saat pengaliha
n pengelolaan dan pengawasan dari PT.
Pertamina Retail (SPBU Coco 21.101.02) kepada PT.
Pertamina Training and consulting (PTC), Pertamina
Retail (SPBU Coco 21.101.02) tidak
memberikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh pekerja yang
telah bekerja selama -/+
9
tahun. Beberapa upaya yang dilakukan mukhsin tidak membuahkan hasil sampai pada
akhirnya Pengadilan Perselisihan
Hubungan Industrial Kelas I a tanjung karang Pada
tanggal 17 januari 2017 Majelis hakim Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Kelas 1 A yang memeriksa perkara ini yang pada
pokoknya memutuskan bahwa
perjanjian
kerja antara Sdr. Mukhsin Muit dan PT. Pertamina Training dan consulting batal
demi hukum, perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) menjadi perjanjian waktu tidak
tertentu (PKWTT) karena pekerjaan sebagai operator
yang telah dijalani oleh Sdr. Mukhsin
Muit telah berlangsung selama -/+ 10 Tahun 18 hari.
Berdasarkan bukti-bukti dan
keterangan saksi, majelis hakim menyatakan bahwa dikarenakan tidak adanya
bukti
perjanjian kerja
yang dimiliki oleh Sdr. Mukhsin Muit dari tahun 2006 s/d tahun 2008
maka majelis hakim berpendapat bahwa
perjanjian dilakukan secara lisan.
Maka
dengan ini kami menyatakan menolak sistem kerja outsourcing dan Perjajian kerja
dengan waktu tertentu karena sangat
merugikan Pekerja dan merampas hak-hak buruh,
semoga dengan adanya Putusan Pengadilan Perselisihan
Hubungan Industrial Kelas I a
tanjung karang Pada tanggal 17 januari 2017 ini dapat menjadi titik tolak
perubahan dan
pengapusan system
kerja outsourcing di Setiap Perusahaan khususnya Perusahaan Milik
Negara,” tegasnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *