Sikap MHTI Lampung Soal Guru Pukul Siswa SDN 4 Sawah Lama

Beredarnya
video seorang guru yang pukuli siswa di SDN 4 Sawah Lama Bandar Lampung
menghebohkan.  Bagaimana pandangan Islam
terhadapnya?

Dalam Islam,
seorang pendidik wajib bersifat lemah lembut. 
Diceritakan dalam sebuah hadits yang panjang, bahwa suatu ketika
Muawiyah bin al-Hakam as-sulami sholat bersama Rosulullah SAW.  Tiba-tiba seseorang bersin.  Muawiyah pun menjawab “Yarhamukallah”.  Mendengar jawaban Mu’awiyah, orang-orang pun
memandangnya.  Muawiyah tidak suka dengan
pandangan tersebut dan berkata : “Celakalah ibumu, mengapa kalian
memandangiku?” maka orang-orang pun memukul-mukul paha mereka sebagai isyarat
agar Mu’awiyah diam.  Saat itulah
Muawiyah baru mengerti bahwa berbicara ketika sedang sholat adalah terlarang.  Maka selesai sholat, ia khawatir Rosul akan
membenci, memukul atau memarahinya. 
Ternyata beliau SAW hanya bersabda :
“Sesungguhnya
dalam sholat ini, tidak layak ada sedikit pun perkataan manusia.  Sholat ini hanyalah untuk bertasbih,
bertakbir dan membaca al-Qur’an.”
Maka
Muawiyah bersumpah demi Allah, bahwa belum pernah sebelum dan sesudah kejadian
itu, dia menemukan guru yang lebih baik dibanding beliau SAW.
Apa yang
dicontohkan oleh Rosul SAW adalah gambaran sikap seorang guru yang
semestinya.  Sikap ini merupakan
pengamalan terhadap hukum wajibnya dzillah ala al-mu’minin (bersikap lemah
lembut terhadap kaum mu’min).
Bersikap
lembut terhadap kaum mukmin adalah wajib. 
Sebaliknya bersikap kasar dan keras adalah haram.  Namun, terdapat dua perkara yang
dikecualikan. Yaitu dalam melaksanakan hukum syara’ dan dalam perkara yang
dapat membahayakan kaum muslimin. 
Terhadap dua perkara ini, sikap yang wajib kita tunjukkan adalah
keras.  Rosul SAW mencontohkan sikap
keras tersebut ketika seorang wanita bangsawan dari kabilah Mahzhumiyah mencuri
dan memohon pembelaan atas Rosul, beliau dengan tegas mengatakan :  “seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri,
niscaya aku akan memotong tangannya.”  
Beliau juga pernah memarahi dua orang sahabat yang telah menggunakan
air, padahal beliau telah melarang sebelumnya agar tidak seorang pun
menyentuhnya hingga beliau tiba dan membagikan air tersebut secara adil ke
seluruh pasukan.  Tindakan dua sahabat
tersebut termasuk perkara yang menimbulkan bahaya terhadap kaum muslimin. Maka
beliau pun memarahinya.
Alhasil,
diluar dari dua konteks ini , bersikap lembut terhadap kaum mu’min adalah
wajib.  Maka seorang guru wajib bersikap
lambut pada siswanya, rendah hati, memaafkan, mengajari dengan sabar dan
mendo’akan.
MEMUKUL ANAK 10 TAHUN
Dalam
konteks pendidikan, memukul anak usia 10 tahun diperbolehkan. Dalil
kebolehannya adalah sabda Rosul SAW :
“Perintahkan
anakmu sholat , jika telah menginjak usia 7 tahun. Dan pukullah mereka (karena
meninggalkan sholat) jika telah menginjak usia 10 tahun.  Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (H.R.
Tabrani)
Harus
difahami bahwa di usia 10 tahun seseorang masih disebut sebagai anak-anak.  sebab, ia belum baligh.  Kebolehan memukulnya adalah kebolehan dalam
rangka ta’dib (menertibkan) bukan dalam rangka pemberian sanksi hukum.
Perbedaan antara ta’dib dan pemberian sanksi adalah;  sanksi diberikan sebagai balasan atas tindak
kejahatan seseorang dan bersifat menjerakan, sehingga tidak terjadi lagi tindak
kejahatan serupa di masyarakat. 
Sedang  ta’dib adalah upaya
menumbuhkan keta’atan individu. 
Ta’dib
adalah bagian dari proses panjang pendidikan anak.  proses tersebut diawali dengan tahap
pensuasanaan anak dalam suasana pelaksanaan syari’at.  Dan tahap ini dimulai sejak anak lahir ke
dunia.  Meletakkan kepala anak di dekat
tempat sujud kita ketika sholat misalnya, menyediakan perlengkapan sholat,
pakaian yang menutup aurat, menghadiri pengajian di masjid dll.  Selanjutnya, tahap mengajari anak
ketaatan.  Dimulai ketika anak telah
mampu membedakan kanan dan kiri. 
Mulailah ia diajari sholat, puasa, menutup aurat dll.  Makna diajari adalah dijelaskan tata caranya
sambil didampingi pelaksanaannya. 
Setelah fase diajari, berikutnya adalah fase diperintahkan.  Anak diperintahkan melaksanakan ketaatan.
Melaksanakan sholat 5 waktu, puasa penuh di bulan Ramadlan, menutup aurat,
menjaga pergaulan, dipisah tempat tidurnya dll. 
Fase ini dimulai pada usia 7 tahun.
Sebuah
proses yang panjang, hingga tibalah anak pada usia 10 tahun, dimana ketika ia
menolak ketaatan kepada Allah, kita diberi hak oleh Allah untuk
memukulnya.  Sebagai peringatan yang
keras baginya untuk memiliki karakter taat, karakter taqwa.  Dan sekali lagi bukan memukul untuk
memberikan sanksi.
Inilah
gambaran proses panjang pendidikan anak. 
Dengan menjalani proses ini, InsyaAllah ketika memasuki usia baligh,
anak kita akan benar-benar siap melaksanakan segala perintah syara’ dan siap
dinasehati ketika menyimpang dari syara’.
Dengan
demikian, jelaslah fungsi kebolehan memukul di usia 10 tahun.  Jadi, harus dipastikan bahwa proses
pendidikan seseorang tepat mengikuti tahap-tahap ini.  Sehingga, penerapan terhadap kebolehan
memukul anak di usia 10 tahun benar-benar tepat.
Adapun
mengenai bagaimana memukulnya, maka syari’at Islam pun menjelaskan
ketentuannya.  Bahwa ia harus lebih
ringan dari memukul dalam pemberian sanksi. 
Perlu kita tahu bahwa memukul dalam penerapan sanksi ketentuannya adalah
tinggi lengan saat memukul sejajar dengan bahu, tidak boleh mengangkat tangan
tinggi-tinggi hingga ketiak kita terangkat.
Selain itu,
juga harus diketahui bahwa bagian tubuh yang boleh dipukul adalah yang tidak
membahayakan dan tidak boleh memukul wajah. 
Selanjutnya yang sangat penting adalah tidak boleh memaki saat
memukul.  Nabi SAW bersabda ketika
memerintahkan pelaksanaan hukuman seseorang “ucapkanlah semoga Allah
merahmatimu.”  Dengan demikian,
pelaksanaan ta’dib memukul diliputi suasana ruhiyah bukan suasana kemarahan.
MENSIKAPI PEMUKULAN SISWA SDN 4 SAWAH
LAMA
Setelah
melihat tayangan video pemukulan yang beredar, tampak bahwa proses pemukulan
yang dilakukan oknum guru SDN 4 Sawah Lama Bandar Lampung adalah luapan
kemarahan, bukan ta’dib sebagaimana yang diajarkan Islam.  Terlepas dari agama yang dianut oknum guru
tersebut.
Selanjutnya
dari pengakuan pelaku, ternyata, ia berbuat seperti itu karena perasaan
kesal.  Ia tak mampu menahan emosi akibat
siswa tidak mengerjakan tugas yang diberikan. 
Juga akibat sikap siswa yang meremehkannya. Tanpa bermaksud membela
pelaku, Sikap peremehan, ketidaktaatan, kurang sungguh-sungguh, tidak
menghormati guru, tidak cinta ilmu adalah fakta yang juga harus kita akui
ada.  Penyebabnya banyak faktor.  Faktor keluarga, media juga faktor sistem
pendidikan itu sendiri.
Dalam
keluarga, terjadi pergeseran pola ketaatan istri pada suami; para ibu, setelah
memiliki penghasilan sendiri, 
ketaatannya pada suami makin menipis. 
Penghormatannya pada suami makin hilang, berganti dengan sikap
peremehan.  Bahkan pembangkangan.  Fakta-fakta ini disaksikan sehari-hari oleh
anak.  Tanpa disadari terbentuklah
prilaku serupa pada mereka. Lalu, tayangan media kurang lebih juga
menggambarkan prilaku yang sama.
Selain
faktor keluarga dan media, orientasi sistem pendidikan kita pada pasar kerja
juga memberi efek negatif pada hilangnya kecintaan siswa pada ilmu, juga
hilangnya semangat siswa dalam menuntutnya. 
Toh sekolah, yang penting mendapatkan ijazah, bukan ilmu.
Terakhir,
dengan melihat video ini, kita juga bisa merasakan bahwa pemukulan ini adalah
sebuah luapan emosi.  Seaka-akan ada
beban berat yang ingin ia keluarkan.  Dan
lagi-lagi harus diakui bahwa, sistem pendidikan kita memang memberi beban yang
sangat berat pada guru.  Beban itu
bernama pasar kerja.
Sistem
pendidikan yang berorientasi pasar kerja mengharuskan guru berhasil menjadikan
siswa pintar.  Padahal semestinya, guru
mengajar untuk menunaikan kewajiban, dan murid belajar untuk menunaikan
kewajiban. Pintar adalah urusan Allah. 
Karena mengajar adalah kewajiban, maka guru akan mencurahkan segala
potensinya untuk memberi pengajaran terbaik. 
Dan murid yang juga menyadari kewajiban menuntut ilmu akan
bersungguh-sungguh untuk merealisasikan upaya terbaik.
Alhasil,
kasus pemukulan guru ini adalah kemungkaran sistem.  Keluarga yang rusak pola hubungannya,  anak yang rusak karakternya, guru yang
terbebani dengan kurikulum pasar, semua pada dasarnya adalah korban sistem
kapitalistik.  Jadi, tunggu kerusakan apa
lagi untuk menjadikan kita mengerti, bahwa kita harus segera kembali menerapkan
sistem ilahi.
Oleh Deasy Rosnawati, S.T.P (Komunitas Perempuan Peduli Keluarga DPD I
MHTI Lampung
)
 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *