MENCARI KEBEBASAN DI SUDUT KOTA TAPIS BERSERI

Ilustrasi/ Foto Ist
BANDARLAMPUNG-Duduk
lesehan di bale pinggir jalan, D(16) dengan tenangnya menikmati sebatang rokok
sembari bersenda gurau dengan beberapa rekan.
Wanita
lajang berbadan gempal, berkulit sawo matang itu tinggal di kecamatan Labuhan
Ratu, Bandarlampung.
Namun
kesehariannya  acap kali bisa ditemui di
salah satu sudut Pusat Kegiatan Olahraga(PKOR) Wayhalim, Bandarlampung.
Tak
ada yang menyangka rona wajah kekanakannya bias tersapu pergaulan yang kurang
sehat setiap harinya, berdampak orang yang melihatnya dimungkinkan menebak ia
telah berusia dewasa, antara 20-30 tahun.
D
anak tergolong mampu secara finansial, secara ekonomi keluarganya amat
berkecukupan, rumah yang cukup megah dan dua mobil milik orang tua D menjadi
bagian dari keluarga mereka, bukan itu masalahnya, namun siapa sangka ia sering
mendapat Kekerasan Dalam Rumah Tangga(KDRT) dari orang tua dan kakaknya.
Wanita
kelahiran 1999 ini kerap mendapat kekerasan fisik dari orang-orang yang
seharusnya menjadi pelindungnya, yang lebih memilukan, saat ayah kandungnya
‘menyiksanya’, kakak-kakaknya kerap membantu dengan cara memengangi tubuh D
agar lebih mudah disiksa.
Cukup
banyak luka bakar bekas puntung rokok di paha D akibat ulah sang ayah hingga
kini luka bakar itu masih membekas, belum lagi bogem mentah dan tamparan yang
kerap ia terima akibat kesalahan tak seberapa yang ia lakukan, tak jarang D
kabur dari rumah akibat perlakuan kasar dari orang-orang yang disayanginya, tak
jarang pula sang ayah mencarinya dan membujuk ia pulang.
Jika
ia melihat dan mendengar keluarganya mencarinya, mimik trauma berkepanjangan di
wajah D amat kentara, terlebih bila ia mengingat sikap kasar sang ayah.
Karena
terlampau sering D kabur dari rumah, keluarga pun pasrah, tak ayal teman
sejawat D menjadi tumpuan sang ayah menitipkan puterinya.
“Ayahnya
sering bilang ke saya. Nitip D ya,” ucap S, rekan D menirukan tutur ayah
D, belum lama ini.
S
menuturkan, pernah suatu hari, D menceritakan KDRT yang dialaminya, S geram
bukan kepalang mendengarnya, tak ayal S mencoba memberikan solusi agar
memberikan efek jera pada ayah dan kakak-kakak D dengan melaporkan ke pihak
berwajib, namun ia menolak dikarenakan D masih sayang dengan keluarganya.
“Enggaklah,
dia itu orang tua saya,” ucap S menirukan kalimat D.
S
menambahkan, setiap harinya ia bersama D, ia paham betul watak D terlebih jika
D tengah dirundung masalah, seusia belia seperti D baiknya kata S, diberi
pendidikan yang layak, dipantau perkembangan fisik dan mental oleh orang
tuanya, dengan siapa ia bergaul, apa yang ia inginkan, terlebih ia seorang
perempuan.
“D
sering tidur di bawah pohon, di warung yang sudah tutup. Kalo mandi di WC umum
kadang di pom bensin,” tutur S.
Tak
dapat dipungkiri, karena lemahnya pengawasan orang tua, D kerap ikut-ikutan
menenggak miras, merokok, seperti pria dewasa umumnya menjadi hal biasa baginya
dan ia melakukan hal yang seharusnya belum ia lakukan(sex para nikah),
terkadang ia berkumpul dengan komunitas anak punk, tak heran jika D dicap
ketularan anak punk, berpolah bisa nyaman makan dan tidur sembarang, tak
sedikit yang menyinyir(berasumsi negatif) melihat dia.
“Banyak
yang ngajak aneh-aneh(chek- in) ada juga yang ngajak D nikah siri. Tapi D
enggak mau,” ungkap pria yang berperawakan sedang ini.
D
kata S, amat khawatir jika melihat mobil Satuan Polisi Pamong Praja(Pol PP),
dikarenakan banyak rekan D yang pernah digiring Pol PP karena diduga
meresahkan, terlebih D belum memiliki KTP karena belum cukup umur.

 

“Dia
enggak meresahkan. Cuma cari kebebasan aja, akibat keluarganya keras,”
imbuhnya.
Kasat
mata Sekretaris Komisi III Bandarlampung, Muchlas Ermanto Bastari mengatakan,
jika melihat kasus di atas, seharusnya yang cukup disalahkan adalah orang tua.
Karena
kata dia, anak adalah tanggung jawab sang bapak sebagai kepala rumah tangga.
Politisi
PKS ini menambahkan, tugas bapak selain memberikan nama yang baik, juga
memiliki kewajiban memberikan pendidikan mengenalkan lingkungan sehingga sang
anak tidak merasa sendiri atau kesulitan ketika berintraksi, kemudian, baik
buruk lingkungan orang tua harus mengenalkan dalam artian, bahwa mereka akan
melihat kondisi itu.
“Dan
harus mengambil sikap memiliki jalan yang baik,” kata dia.
 Psikolog
dari Universitas Lampung(Unila), Diah Utami Ningsih menuturkan, anak punk
terbentuk dalam suatu komunitas, di dalam komunitas mereka mendapat pengakuan
atas diri mereka, artinya, apa yang mereka lakukan seolah-olah didukung
komunitas, karena kelompok itu punya nilai dan persepsi yang sama dalam
melakukan sesuatu.
“Contohnya
gaya pakaian dan gaya rambut mereka. Kan sama,”ucap dia.
Dosen
Bimbingan Konseling Unila ini menambahkan, yang menjadi pertanyaan adalah hidup
mereka itu sebenarnya susah di jalan-jalan, kehidupan yang menurut orang
kebanyakan tidak nyaman, makan dengan hasil mengamen, berbeda dengan anak yang
diam di rumah.
“Dari
kasus yang ada. Adalah hubungan relasi antara orang tua dan anak enggak jalan
dengan harmonis,” tuturnya.
Lalu
kata Diah, anak merasa tidak dimasuki atau didukung, sisi lain orang tuanya
mendukung namun cara penyampaiannya yang salah, rata-rata anak punk itu remaja
dan masa remaja berakhir di usia 17-18 tahun.
“Hingga
masa itu, mereka mencari jati diri, ingin menunjukkan eksistensi dirinya,”
ungkapnya.
Di
usia itu lanjut dia, mereka sering berkonflik terlebih jika tidak ada
komunikasi dengan orang tua, dengan adanya komunitas mereka bisa mendorong
untuk mencari komunitas yang bisa memahami diri mereka.
“Karena
mereka bertemu dengan teman-teman,” ucapnya.
Menurutnya,
jika teman-teman yang positif akan amat baik bagi pertumbuhannya, namun jika
berkumpul dengan komunitas yang kurang baik maka amat berbahaya, kemudian
lanjut dia, contohnya anak punk yang kurang baik.
“Saya
pernah baca, komunitas anak punk yang melakukan ritual sex bebas,”
tuturnya.
Anak-anak
punk kata Diah, tidak ada yang dewasa yang mengawasi dan membimbing, Diah
meyakini tidak ada orang tua yang rela membiarkan anak-anaknya menderita,
dengan membesarkan serta mendidik anak terlebih anak yang dalam masa
pertumbuhan.
“Anak
itu jangan dikasari. Ada proses, perlu bantuan orang-orang yang ahli,”
urainya.
Ahli
dalam bidang menyelesaikan segala sesuatu dengan komunitas tumbuh yang baik
dari orang tua, terkadang orang tua egois menganggap paling benar namun
adakalanya orang tua harus mengakui kesalahan.
“Agar
bisa merangkul anak-anak kembali ke pangkuan, namun butuh proses,”
tukasnya.

 

Andai
saja semua orang tua bisa menjaga komunikasi dengan baik dengan anak dan
menjadi ‘ahli’ dalam mendidik. Pasti tidak akan ditemui D dan cerita tentang D.
(Andi Priyadi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *